Rabu, 13 Mei 2009

Problematika dalam Penerjemahan

Dr. Rudi Hartono, M.Pd.

Ragam Kesulitan dalam Penerjemahan

1. Kesulitan-kesulitan dalam Penerjemahan

Soemarno (1988:19-21) mengutarakan bahwa seorang penerjemah, di dalam tugasnya, akan menghadapi berbagai macam kesulitan, misalnya kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan makna, seperti makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual atau situasional, makna tekstual, dan makna sosio-kultural. Makna-makna itu sendiri ada yang secara mudah dapat diterjemahkan (translatable) dan ada yang sulit sekali bahkan mungkin tidak dapat diterjemahkan (untranslatable). Makna-makna yang sulit diterjemahkan biasanya makna-makna yang berkaitan dengan sosio-kultural. Di samping kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan makna, penerjemah mungkin dihadapkan pula dengan kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan materi-materi yang diterjemahkan, misalnya materi-materi yang berhubungan dengan teks-teks sastra. Misalnya, kesulitan menerjemahkan lelucon, peribahasa, dan beberapa gaya bahasa (figurative languages) yang berkaitan dengan sosio-kultural tertentu. Sehingga tidak jarang, nilai dan rasa keindahan dalam Tsu itu hilang dalam Tsa atau paling tidak muncul rasa kaku dan hambar dalam hasil terjemahannya.

2. Kesilapan-kesilapan dalam Penerjemahan

Kesilapan (errors) dapat dibedakan dengan kesalahan (mistake). Menurut kamus umum elektronik Longman Active Study Dictionary (2002), ”Error is a mistake you made in something you are doing, that can cause problems.” Dari batasan di atas, kesilapan adalah kesalahan yang dibuat oleh seseorang tatkala ia sedang mengerjakan atau melakukan sesuatu, sehingga dari kecerobohannya itu menimbulkan masalah. Sedangkan menurut kamus umum elektronik Microsoft Encarta (2005), “Error is something unintentionally done wrong, for example, as a result of poor judgment or lack of care.” Dari definisi di atas dinyatakan bahwa kesilapan adalah sesuatu yang dikerjakan dengan salah secara tidak disadari atau tanpa di sengaja.

Selanjutnya dalam kamus umum elektronik Longman Active Study Dictionary (2002), “Mistake is something that you do by accident, or is the result of a bad judgment.” Batasan tersebut menyatakan bahwa kesalahan atau kekeliruan adalah sesuatu yang dilakukan secara tidak sengaja atau sebagai akibat dari pertimbangan yang buruk atau salah. Sedangkan kamus umum elektronik Microsoft Encarta (2005), “Mistake is an incorrect, unwise, or unfortunate act or decision caused by bad judgment or a lack of information or care.” Kesalahan adalah suatu tindakan atau keputusan yang salah atau tidak bijaksana, yang disebabkan oleh pertimbangan yang buruk atau kurang informasi atau kurang teliti.

Bagaimana kesilapan atau kesalahan jika dikaitkan dengan penerjemahan? Yang akan diangkat pembahasan ini lebih fokus pada konsep kesilapan (errors). Menurut Corder (dalam Soemarno, 1988:61), kesilapan itu bersifat sistematik. Kesilapan ini dapat berwujud salah ucap dan salah tulis. Schumann dan Stension (dalam Soemarno, 1988:64) membagi kesilapan dalam penerjemahan ke dalam tiga kategori.
1) Kesilapan-kesilapan yang disebabkan oleh terjadinya kekurang- sempurnaan pemerolehan gramatikal
    Bsu dan Bsa.
2) Kesilapan-kesilapan yang dihubungkan dengan situasi mengajar dan belajar.
3) Kesilapan-kesilapan yang bersumber pada masalah kemampuan atau kinerja.

Adapun Selinker (dalam Soemarno, 1988:64) menyebutkan bahwa ada lima proses yang dianggap sebagai sumber kesilapan, terutama bagi para pembelajar bahasa pertama (L1) dan bahasa kedua (L2) atau bahasa asing (FL).
1) transfer kebahasaan
2) transfer pemberian latihan
3) strategi belajar L2/FL
4) strategi untuk berkomunikasi dengan L2
5) peng-overgeneralisasian materi linguistik Bsa.

Berbeda dengan Schuman dan Stension, Brown (dalam Soemarno, 1988:64-65) menyoroti kesilapan yang dilakukan oleh seorang penerjemah itu adalah karena ia tidak menguasai teori-teori penerjemahan dan pengetahuan-pengetahuan penunjang lainnya seperti pengetahuan umum, sosiologi, kebudayaan, filsafat, dan pengetahuan tentang isi materi (content) yang sedang diterjemahkannya.

Berkaitan dengan kesilapan (errors), Hurtado Albir (2001:281) mengemukakan bahwa kesilapan dalam penerjemahan (translation errors) dapat dibagi ke dalam empat tipologi kesilapan (typology of errors):

1) Perbedaan antara kesilapan yang berkaitan dengan Tsu (opposite sense, nonsense, addition, suppression)  dan kesilapan yang berkaitan dengan Tsa (spelling, vocabulary, syntax, coherence, cohesion) (Kupsch-Losereit, 1985; Delisle, 1993; Hurtado Albir, 1995, 1999).
2) Perbedaan antara kesilapan fungsional (functional errors) dan kesilapan mutlak (absolute errors). Kesilapan fungsional berkaitan dengan pelanggaran aspek-aspek fungsional kebahasaan dalam teks yang diterjemahkan, sedangkan kesilapan mutlak berkaitan dengan pelanggaran aturan-aturan linguistik atau kultural yang digunakan dalam teks terjemahan (Gouadec, 1989; Nord, 1996).
3) Perbedaan antara kesilapan-kesilapan sistematik (systematic errors) yang terus berulang atau kumat dalam diri penerjemah dan kesilapan-kesilapan non-sistematik (random errors) yang diakibatkan oleh kondisi psikologis penerjemah (Spilka, 1989).
4) Perbedaan antara kesilapan-kesilapan dalam produk terjemahan dan kesilapan-kesilapan dalam proses penerjemahan.

Selanjutnya Gile (dalam Hurtado Albir, 2001:282) membedakan tiga buah penyebab kesilapan (three causes of errors) yang sering dimiliki oleh penerjemah adalah karena:
1) kurang pengetahuan (lack of knowledge) tentang ekstralinguistik dalam Tsu dan Tsa
2) kurang menguasai metodologi (lack of methodology)
3) kurang memiliki motivasi (lack of motivation)

3. Masalah-masalah Linguistik dalam Penerjemahan

Dalam penelitian ini fokus kajian tentang masalah linguistik adalah hanya pada dua kategori, yaitu kategori gramatikal dan kategori leksikal.

a. Kategori Gramatikal
Moentaha (2006:15-22) memaparkan beberapa masalah penerjemahan yang berkaitan dengan kategori gramatikal, diantaranya yang menyangkut bentuk-bentuk tunggal dan jamak (singular dan plural nouns), aspek (aspects), dan genus (gender).

1) Masalah bentuk tunggal dan jamak
Yang menjadi kesulitan bahasa dalam penerjemahan juga adalah perbedaan sistem gramatikal yang berkaitan dengan kata benda tunggal dan jamak. Sistem gramatika bentuk kata benda tunggal dan jamak dalam bahasa Inggris berbeda dengan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris memiliki indikator-indikator jamak, misalnya morfem -s (indikator jamak) dalam kata benda chairs dan books atau -es (indikator jakam) seperti pada kata benda box-boxes dan houses yang berasal dari bentuk tunggalnya chair (tunggal) yang tidak memiliki indikator atau berindikator nol (zero indicator), morfem –en pada kata benda oxen (jamak) yang berasal dari kata benda tunggalnya ox, perubahan vokal a (indikator tunggal) menjadi e(indikator jamak) seperti dalam man-men; woman-women, dan fonem –oo– (indikator tunggal) seperti dalam kata benda tooth dan foot menjadi –ee– (indikator jamak) seperti dalam kata benda teeth dan feet.

2) Masalah aspekAspek adalah kategori verba yang menyatakan berlangsungnya suatu perbuatan, misalnya aspek perfektif (perfective aspect) yang menyatakan bahwa perbuatan itu telah dilakukan atau baru saja selesai dilakukan dan aspek progresif (progressive aspect). Dalam hal ini Richards (1992:22) menyatakan bahwa aspek adalah kategori gramatikal yang menerangkan bagaimana suatu kejadian, kegiatan atau peristiwa itu digambarkan oleh sebuah kata kerjanya, misalnya apakah kata kerja itu menggambarkan kejadiannya sedang berlangsung (progress), kegiatannya sebagai suatu kebiasaan (habitual), peristiwanya selalu berulang (repeated) atau hanya sebentar saja (momentary). Aspek itu sendiri biasanya ditandai oleh awalan (prefixes) atau akhiran (suffixes) atau perubahan lainnya pada kata kerja atau ditunjukan dengan kata kerja-kata kerja bantu (auxiliary verbs).

Bahasa Inggris hanya memiliki dua aspek, yaitu progressive (continuous) dan perfect. Progresif adalah aspek gramatikal yang menunjukkan aksi yang belum lengkap atau masih berlangung. Aspek progresif dalam bahasa Inggris ini dibentuk dari kata kerja bantu BE dan bentuk kata kerja –ing misalnya dalam kalimat: She is wearing contact lenses dan Thee were crossing the road when the accident occured. Aspek progresif ini dapat divariasikan dengan beberapa tenses, misalnya dengan present menjadi present continuous tense seperti dalam kalimat Today I am wearing glasses; dengan past tense menjadi past continuous tense seperti dalam kalimat I was wearing glasses; dengan present tense dan aspek perfect menjadi present perfect continuous tense seperti dalam I have been wearing glasses for six years. (ibid:294).

Yang berikutnya adalah aspek perfektif (perfect). Perfektif (perfect) adalah aspek gramatikal yang menunjukkan hubungan antara satu kegiatan; peristiwa atau waktu dengan kegiatan; peristiwa atau waktu yang lainnya. Dalam bahasa Inggris aspek perfektif ini dibentuk dari kata kerja bantu (auxiliary verb) HAVE dan past participle. Contohnya: I have finished. She has always loved animals. Kata kerja bantu HAVE itu dapat divariasikan dengan present tense menjadi present perfect tense seperti dalam kalimat They have eaten; dengan past tense menjadi past perfect tense seperti dalam kalimat They had finished; dan future tense, walaupun dalam bahasa Inggris jarang digunakan, seperti dalam kalimat They will have finished (ibid:269).

Bagaimana jika semua kalimat bahasa Inggris yang memiliki konsep aspek progresif dan aspek perfektif itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia? Nuansa makna aspek-aspek dalam bahasa Inggris tersebut baik ada keterangan waktu (time signal; adverb of time) atau tidak, dapat diterjemahkan dengan bantuan leksikal, misalnya kata bantu ‘sedang’, ‘masih’, ‘telah (tuntas)’, ‘dulu telah (tuntas)’. Perhatikan contoh berikut:
1. Tsu : I am writing a letter.
    Tsa : Saya sedang menulis sepucuk surat.
2. Tsu : I was writing a letter yesterday.
    Tsa : Saya sedang menulis sepucuk surat kemarin.
3. Tsu : I have been writing a letter for two hours.
    Tsa : Saya masih menulis sepucuk surat selama dua jam.
4. Tsu : I have written a letter.
    Tsa 1: Saya telah menulis sepucuk surat selama dua jam.
    Tsa 2: Saya tuntas menulis sepucuk surat selama dua jam.
5. Tsu : I had written a letter.
    Tsa : Saya dulu telah (tuntas) menulis sepucuk surat.
    (Sebaiknya kalimat seperti ini harus disertai anak kalimat yang berkata depan before atau before clause.)

3) Masalah genus

Masalah yang dapat dikategorikan sulit untuk diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahas Indonesia adalah kategori genus (gender) atau jenis kelamin. Kategori genus Masculine (M) dan Feminine (F) bahasa Inggris berbeda dengan kategori jenis kelamin dalam bahasa Indonesia. Bahasa Inggris memiliki beberapa indikator genus dengan pola yang beragam misalnya:
1. zero indicator: hero (M); suffix –ine: heroine (F)
2. suffix –or: aviator (M); suffix –rix: aviatrix (F)
3. zero indicator: tiger (M); suffix –ess: tigress (F)
4. billy goat (M); nanny goat (F)
5. buck rabbit (M); doe rabbit (F)
6. jack (M); jack ass (F)
7. jenny (M); jenny ass (F)
8. he bear (M); she bear (F)
9. tom cat (M); tabby cat (F)

Jika kategori jenis kelamin ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka banyak pilihan indikator jenis kelamin yang dapat digunakan, misalnya –wan dan –wati; -a– dan –i–; pria–wanita; jantan–betina. Jadi semua kata dan frase di atas dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi:
a. hero-herione → ’pahlawan pria’– ’pahlawan wanita’
b. aviator-aviatrix → ’pilot pria’ – ’pilot wanita’
c. tiger-tigress → ’harimau jantan’ – ’harimau betina’
d. billy goat-nanny goat → ’kambing jantan’ – ’kambing betina’
e. jack ass-jenny ass → ’keledai jantan’ – ’keledai betina’
f. buck rabbit-doe rabbit → ’kelinci jantan’ – ’kelinci betina’
g. he bear-she bear → ’beruang jantan’ – ’berung betina’
h. tom cat-tabby cat → ’kucing jantan’ –’kucing betina’

b. Kategori Leksikal

Masalah-masalah penerjemahan yang berkaitan dengan kategori leksikal menyangkut aneka makna, diferensial dan nondiferensial, dan medan semantis (Moentaha, 2006-13-14).

1) Aneka Makna

Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia memiliki aneka makna (polysemous meaning) yang berbeda, sehingga hal tersebut kadang-kadang menyulitkan penerjemah untuk memilih kata yang tepat. Berikut adalah contoh aneka makna dalam bahasa Inggris dan kasus penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Kata house dalam bahasa Inggris memiliki arti ’rumah’ dalam bahasa Indonesia karena merujuk kepada ’gedung tempat tinggal’ (dwelling), sedangkan kata house itu sendiri mempunyai aneka makna yang lain, yaitu ’dinasti’ (dynasty) seperti the House of Smiths yang berarti ’Dinasti Smith’. Di samping itu kata house berarti ’teater’ atau ’para penonton di gedung pertunjukan’ (an appreciative house), ‘bisnis’ (a publishing house), dan lain-lain.
Begitu pula dalam bahasa Indonesia, kata ’rumah’ itu tidak mempunyai hubungan dengan kata house, namun memiliki aneka makna, misalnya ’rumah sakit’ (hospital), ’rumah sakit jiwa (lunatic asylum), ’rumah makan’ (restaurant), ’rumah yatim piatu’ (orphanage), dan lain-lain.
Jadi dalam hal ini seorang penerjemah harus pandai menentukan kategori leksikal dalam proses penerjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.

2) Diferensial/Nondiferensial

Yang dimaksud dengan nondiferensial adalah satu kata yang mengandung pengertian lebih luas, misalnya kata rice mengandung pengertian lebih dari satu dalam bahasa Indonesia, sehingga dapat dipadankan dengan kata ’padi’, ’beras’, atau ’nasi’ bergantung makna gramatikalnya dna konteks kalimatnya. Misalnya dalam kalimat Every day we eat rice. Kata rice di dalam kalimat itu berpadanan dengan ’nasi’, sedangkan dalam kalimat Yesterday I bought rice in the grocery shop. Kata rice dalam kalimat ini berarti ’beras’, adapun dalam kalimat They work in the rice field from sunup to sundown. Dalam kalimat tersebut kata rice bermakna ‘padi’ (rice field=ladang padi atau sawah).

Sebaliknya diferensial adalah satu kata yang mengandung pengertian sempit. Seperti contoh di atas, kata ’padi’, ’nasi’, dan ’beras’ itu sendiri termasuk ke dalam kata yang diferensial karena mengandung pengertian sempit, artinya sudah tidak bisa dicarikan padanannya lagi secara luas, sehingga tatkala akan diterjemahkan, penerjemah harus memberi gambaran atau catatan kaki tentang kata-kata tersebut, karena sudah memiliki makna yang lebih spesifik sesuai dengan konteks sosio-kultural tertentu. Kata ’kaki’ dalam bahasa Indonesia mempunyai arti luas jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Kata tersebut bisa mengandung pengertian leg yang menyangkut ’kursi’ (the legs of a chair= kaki-kaki kursi), kemudian berarti foot yang menyangkut ’gunung’ (the foot of a mountain=kaki gunung). Sebaliknya, kata leg dan foot itu sendiri memiliki pengertian yang sempit, artinya kedua kata tersebut sudah dalam kategori kata-kata yang spesifik atau memiliki pengertian yang sempit.

3) Medan Semantis

Medan semantis (semantic field atau lexical field) termasuk ke kategori leksikal yang menjadi masalah linguistik dalam penerjemahan. Richards (1992:211) memberi batasan bahwa medan semantis adalah pengorganisasian kata-kata yang saling berkaitan dalam sebuah sistem yang saling berhubungan. Contohnya kata-kata dalam kelompok kinship (kekerabatan) seperti father, mother, brother, sister, uncle, dan aunt termasuk ke dalam medan semantis karena ciri-ciri relevan menyatakan hubungan keturunan atau anggota keluarga. Di samping itu Moentaha (2006:257) menambahkan bahwa medan semantis ialah kelompok kata yang maknanya mengandung komponen semantis umum. Misalnya, medan semantis yang menyatakan waktu: hari, minggu, bulan, tahun; yang menyatakan ruang: pekarangan, kamar, jalanan; yang menyatakan sensasi emosional: sedih, gembira; yang menyatakan sensasi jasmani: sakit kepala, sakit pinggang, dan lain-lain.

Pemahaman terhadap medan semantis ini sangat penting bagi para penerjemah karena ia harus menerjemahkan suatu kata dari Bsu itu ke dalam Bsa yang memiliki kategori medan semantis yang sama, misalnya kalimat yang mengandung kata kerja persepsi harus diterjemahkan ke dalam kalimat yang memiliki kata kerja persepsi yang sama, seperti She hears a song diterjemahkan menjadi ’Dia (perempuan) mendengar sebuah lagu’. Kalimat persepsional dalam Tsa seyogyanya diterjemahkan ke dalam Tsa dengan kalimat yang menyatakan medan semantis yang sama.

4. Masalah-masalah Stilistik dalam Penerjemahan

Menurut KBBI (2005:1231), tuturan adalah sesuatu yang dituturkan; ucapan; ujaran (cerita) dan sebagainya. Dalam istilah linguistik, tuturan itu dikenal dengan istilah utterance. Tuturan adalah sebuah kata atau sederetan kata yang diucapkan. Pada tingkatan yang paling sederhana, ucapan kata ”Oh” ketika seseorang menyentuh sebuah benda yang panas, sudah dapat dikatakan sebuah tuturan, walaupun tuturan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengomunikasikan makna kepada lawan bicara (http:www.rdillman.com/HFCL/TUTOR/Relation/relate2.html).

Richards et al (1992:395) mengemukakan bahwa tuturan adalah apa saja yang diucapkan oleh seseorang sebelum atau sesudah orang lain berbicara. Berikut adalah contoh dari tuturan dalam bentuk dialog:
1) tuturan satu kata (a word)
A: Have you done your homework?
B: Yeah.
Tuturan yang ke-1 ini termasuk ke dalam tuturan biasa. Jika diterjemahkan, maka akan menjadi:
A: Apakah kamu sudah mengerjakan PR-mu?
B: Ya, sudah.

2) tuturan satu kalimat (one sentence)
A: What’s the time?
B: It’s half past five.
Tuturan yang ke-2 ini pun termasuk ke dalam tuturan biasa. Jika diterjemahkan, maka hasilnya:
A: Pukul berapa sekarang?
B: Pukul 05:30.

3) tuturan lebih dari satu kalimat (more than one sentence)
A: Look, I’m really fed up. I’ve told you several times to wash
your hands before a meal. Why don’t you do as you’re told?
B: But Mum, listen ...

Tuturan yang ke-3 ini termasuk ke dalam idiomatik karena mengandung unsur idiom yaitu I’m really fed up yang artinya ‘Saya sudah muak’. To be fed up termasuk ke dalam logat moderen (slang) yang terkadang bernada kasar. Tuturan idiomatik to be fed up itu sendiri dapat bermakna ‘mual’, ‘muak’, dan ‘bosan’ (Echols, J.M., dan Shadily, H. 2001:236). Akan tetapi sebenarnya kata Look itu sendiri dapat bermakna idiomatik, yaitu ‘Coba perhatikan’ atau ‘Begini’ bukan ‘Lihatlah’. Sehingga jika tuturan ke-3 tersebut diterjemahkan, maka akan menjadi:
A: Coba perhatikan, Aku sudah muak. Sudah aku katakan
beberapa kali agar kamu mencuci tangan sebelum makan.
Mengapa kamu tidak nurut?
B: Tapi Bu, dengarlah ...

Bagaimana dengan tuturan-tuturan idiomatik, metaforik, dan kiasan lainnnya jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia? Tentunya tuturan-tuturan itu sangat sulit dicarikan padanannya.
Sebenarnya sebuah tuturan itu memiliki makna tuturan (utterance meaning) yang bergantung pada maksud si penutur dan situasi dan konteks tuturan. Contohnya, sebuah tuturan kalimat My watch has stopped again memiliki beberapa makna sebagai berikut:
1. I can’t tell you the time.
2. This is the reason for my being late.
3. I really have to get it repaired.
4. What about buying me another one?

a. Penerjemahan Tuturan Metaforik

Penerjemahan tuturan metaforik sangat berbeda dengan penerjemahan tuturan biasa. Tuturan metaforik (metaphorical utterance) adalah tuturan yang mengandung gaya bahasa metafora yang dianggap sebagai bentuk bahasa sastra yang rumit dan sulit untuk diterjemahkan. Tuturan metaforik mengandung ranah sasaran (target domain), yaitu konsep yang digambarkan atau sebagai bagian awal dan ranah sumber (source domain), yaitu konsep perbandingan atau analoginya. Menurut Richards dalam Saeed (1997:302-303), konsep pertama disebut tenor sedangkan yang kedua disebut vehicle. Misalnya dalam tuturan Computer is a human being, kata computer adalah tenor sedangkan a human being adalah vehicle. Maka dari itu makna tuturannya akan berbeda dengan makna kalimat biasa. Bagaimana bisa sebuah komputer itu dianalogikan sebagai seorang manusia. Tuturan ini perlu pemahaman dan penghayatan yang cukup dalam karena makna suatu tuturan metaforik sangat dipengaruhi oleh ranah pengalaman penuturnya, sehingga seorang penerjemah harus mampu menerjemahkannya sesuai dengan ranah yang dipahami oleh pendengar atau pembaca teks terjemahannya.

Tuturan berikut adalah sebuah tuturan metaforik: ”Life is a journey.” (Lakoff dan Turner dalam Saeed (1997:306). Tuturan metaforik tersebut mengandung banyak makna sebagai berikut:
1. The person leading a life is a traveler.
2. His purposes are destinations.
3. The means for achieving purposes are routes.
4. Difficulties in life are impediments to travel.
5. Counsellors are guides.
6. Progress is the distance traveled.
7. Things you gauge your progress by are landmarks.
8. Material resources and talents are provisions.

Dari makna-makna tersebut di atas, tuturan metaforik “Life is a journey” dapat diterjemahkan menjadi:
1. Hidup itu kembara.
2. Hidup itu kelana.
3. Hidup adalah sebuah pengembaraan yang panjang.
4. Pengalaman adalah guru yang paling baik.
5. Hidup adalah safari tiada henti.

Holman dan Harmon (1992:287) menyatakan bahwa metafora adalah analogi yang membandingkan antara satu objek dengan objek yang lainnya secara langsung atau dengan kata lain adalah majas yang mengungkapkan ungkapan secara langsung. Misalnya She is my heart adalah contoh dari gaya bahasa metafora karena seseorang (she) dalam kalimat di atas disamakan dengan heart = jantung. Bagaimana bisa seseorang sebagai manusia disamakan dengan jantung. Hal semacam ini membutuhkan kepiawaian seorang penerjemah untuk mencari padanan majas tersebut dengan tepat dalam Bsa. Ungkapan tersebut dapat diterjemahkan menjadi ’Dia belahan jantung hatiku.’ Perhatikan contoh-contoh di bawah ini.
1. Tsu : He is a book worm.
    Tsa : Dia (laki-laki) seorang kutu buku.
2. Tsu : That man is a regular ass.
    Tsa : Orang itu bodoh sekali
3. Tsu : She is a beautiful flower in the village.
    Tsa : Dia (perempuan) seorang bunga desa. (=gadis
            cantik)
4. Tsa : Hamzah is a lion of desert.
    Tsa : Hamzah adalah singa padang pasir. (=seorang
            pemberani)

b. Penerjemahan Tuturan Idiomatik

Yang dimaksud dengan idiom dalam hal ini adalah sekelompok kata yang maknanya tidak dapat dicari dari makna kata-kata unsurnya. Berikut beberapa pendapat dari para pakar linguistik yang memberi komentar terhadap pengertian idiom.

Crystal (1985:152) menyatakan bahwa idiom atau idiomatik adalah istilah yang digunakan dalam grammar dan lexicology yang merujuk kepada serangkaian kata yang terbatas secara semantis dan sintaksis, sehingga hanya berfungsi sebagai satuan tunggal (single unit). Misalnya ungkapan It’s raining cat and dogs tidak bisa diterjemahkan satu persatu karena ungkapan tersebut adalah ungkapan idiomatik (idiomatic expression) yang harus diterjemahkan secara idiomatik juga, sehingga terjemahannya menjadi ’Hujan lebat’.

Frye et al (1985:234) berpendapat bahwa idiom adalah ungkapan khusus yang tidak mudah untuk diterjemahkan. Misalnya untuk jawaban ungkapan ”Thanks”, seseorang menjawab dengan variasi jawaban, seperti ”Please, don’t mention it,” ”Not at all,” ”It was a pleasure,” atau “Forget it.” Ungkapan-ungkapan itu tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kata-demi-kata tetapi cukup dengan idiomatik bahasa Indonesia yang sudah lazim dan semuanya dapat diterjemahkan menjadi ‘Terima kasih kembali’ tidak yang lain, misalnya ‘Jangan dipikirkan’, ‘Nggak apa-apa’, ‘Ini suatu hal yang menyenangkan’, ‘Lupakan saja’, dan lain-lain.

Richards (1992:172) menambahkan bahwa idiom adalah sebuah ungkapan yang berfungsi sebagai satuan tunggal dan maknanya tidak bisa dipecah-pecah, contohnya She washed her hands of the matter = She refused to have anything more to do with the matter. Contoh lain ungkapan May I wash my hands? bukan berarti bahwa seseorang itu meminta ijin untuk mencuci kedua belah tangannya tetapi itu adalah ungkapan idiomatik yang biasa diucapkan seorang siswa, misalnya, yang meminta ijin kepada guru untuk pergi ke ‘belakang’ (toilet). Jadi ungkapan idiomatik itu diterjemahkan menjadi ‘Bolehkan saya ke belakang?’.

Penerjemahan tuturan idiomatik (idiomatic expressions), sama halnya dengan penerjemahan tuturan metaforik, membutuhkan kecerdasan dan pengalaman untuk mencari padanan yang tepat karena tuturan idiomatik itu kadang tidak masuk akal dan sulit untuk dipahami. Tuturan idiomatik ini dapat berbentuk sebuah kata atau kelompok kata. Jika tuturan idiomatik itu dipahami secara harfiah, maka maknanya akan biasa-biasa saja. Padahal seorang penutur menggunakan ungkapan idiomatik itu tiada lain adalah untuk mencoba membangun sebuah makna baru yang berada di balik makna harfiah. Bedakan dua kalimat berikut yang menggunakan kata “hand” (http:www.andeanwinds.com):
1. Bill has two hands, a right hand and a left hand.
2. Bill is an old hand in the store.

Kalimat kesatu adalah kalimat harfiah (literal sentence) yang artinya sesuai dengan makna yang sebenarnya yaitu: ’Bill mempunyai dua buah tangan, tangan kiri dan tangan kanan. Bagaimana dengan kalimat kedua? Kalimat tersebut adalah kalimat idiomatik. Tuturan tersebut bermakna ‘Bill adalah orang yang mempunyai banyak pengalaman di toko itu’ atau ‘Bill telah banyak makan garam di toko tersebut’. Jadi frase ‘an old hand’ itu bermakna ‘berpengalaman’ bukan ‘seorang tangan tua’. Itulah sulitnya memahami tuturan idiomatik sehingga penerjemah harus hati-hati dalam menerjemahkannya.

c. Penerjemahan Tuturan Kiasan

Tamsil atau kiasan (simile) adalah majas yang mengungkapkan ungkapan secara tidak langsung atau perbandingan dua objek yang berbeda sama sekali dengan dasar kemiripan dalam satu hal (Holman dan Harmon, 1995:445). Metafora memiliki ciri perbandingan dengan menggunakan kata kerja bantu BE saja, sedangkan kiasan (simile) ini menggunakan kata-kata penghubung like, as, such as, as if, seem. Misalnya, My house is like your house (=’Rumahku mirip rumahmu’).

Moentaha (2006:190) memberi tekanan yang berbeda dengan pandapat Holman dan Harmon (1995). Dia berpendapat bahwa tamsil atau kiasan ini adalah perbandingan antara dua objek yang berlainan kelas. Simile, sebagai sarana stilistis, digunakan untuk menekankan cirri-ciri tertentu dari objek yang satu dibandingkan dengan ciri-ciri tertentu dari objek yang lain yang berbeda kelasnya. Sehingga jika ada kiasan semacam berikut: The boy seems to be as clever as his mother (‘Anak lelaki itu sepandai ibunya), bukanlah tamsil atau kiasan (simile) tetapi perbandingan biasa (ordinary comparison) karena boy dan mother berasal dari kelas yang sama. Menurut dia, contoh simile yang tepat adalah He is as brave as a lion yang diterjemahkan menjadi ‘Dia seberani banteng’ atau ‘Dia seberani pendekar’. Kata ‘banteng’ dan ‘pendekar’ sangat cocok di telinga orang Indonesia dari pada kata ‘singa’, karena ‘singa’ adalah binatang buas yang kesannya kurang pas. Jadi perbandingan itu sendiri kadangkala harus ditujukan atau disesuaikan dengan konteks sosio-kultural pengguna Bsa. Perhatikan contoh lainnya di bawah ini.
Tsu : He is a sly as a fox.
Tsa : Dia secerdik kancil.
Dari ungkapan di atas dianalisis bahwa pembaca Indonesia mungkin tidak kenal dengan kecerdikan ‘rubah’ (fox), tetapi mereka kenal dengan kecerdikan ‘kancil’ maka wajarlah jika tidak diterjemahkan menjadi ‘Dia secerdik rubah’.

d. Penerjemahan Personifikasi (Personifications)

Frye (1985:345) mengemukakan pendapat bahwa personifikasi (personification) adalah teknik memperlakukan segala sesuatu yang abstrak, benda atau binatang seperti manusia. Misalnya nama-nama binatang dalam kartun seperti Mickey Mouse dan Donald Duck dipersonifikasikan sebagai manusia. Misalnya Mickey Mouse says “I love you” to Minie Mouse dapat diterjemahkan menjadi ‘Si Tikus Miki’ mengatakan “Aku cinta padamu” pada Si Tikus Minie’. Bagaimana bisa seekor tikus mengatakan cinta, karena ‘mengatakan’ adalah pekerjaan manusia bukan tikus. Contoh lain dalam bahasa Indonesia adalah ‘Saat kulihat rembulan, dia tersenyum kepadaku seakan-akan aku merayunya’. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi When I saw the moon, she smiled at me as if I flattered her.

e. Penerjemahan Aliterasi

Aliterasi adalah sarana stilistis yang berarti pengulangan bunyi konsonan yang sama di permulaan kata yang membentuk rangkaian kata yang mapan, biasanya berpasangan (Moentaha, 2006:182). Alirerasi ini sering muncul dalam karya sastra baik puisi maupun prosa atau sering muncul dalam headline surat jabar sebagai ungkapan daya tarik bagi pembaca seperti Summer of Support, Quips and Quirks, Frenzy at Franconia, Face the Future. Bagaimana kasus aliterasi ini jika diterjemahkan?

Seorang penerjemah harus mampu menerjemahkan aliterasi menjadi aliterasi juga agar rasa indah dalam hasil terjemahannya (Tsa) sama dengan nilai estetika dalam Tsu, sekalipun ia harus mencari kata-kata yang sangat jauh padanannya atau bahkan tidak sepadan asalkan nuansa aliterasinya muncul dalam produk terjemahannya. Perhatikan contoh berikut:
1. Tsu : ...between promise and performance.
Tsa 1 : ...antara janji dan pelaksanaannya. (tidak aliterasi)
Tsa 2 : ...antara perkataan dan perbuatan. (beraliterasi)

Jika dianalisis, Tsa 1 tidak mengejar aliterasi sedangkan Tsa 2 mengejar padanan aliterasi. Terjemahan kata promise menjadi ’perkataan’ tampaknya secara makna pun memiliki kedekatan karena biasanya kalau ”janji” itu sama dengan ”ucapan” atau ”perkataan” saja dalam konteks bahasa Indonesia, demikian juga terjemahan kata performance menjadi ’perbuatan’ tampaknya tidak terlalu menyimpang karena keduanya merujuk kepada suatu aksi kinerja atau perbuatan.

Berikut adalah beberapa contoh aliterasi menurut Richard Nordguist dalam http://grammar.about.com/od/terms/g/alliteration.htm yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
2. Tsu: Peter Piper picked a peck of pickled peppers.
Tsa: Peter Piper pungut satu patukan buah pohon perdu pedas yang pakai pengawet.
3. Tsu: Sweet smell of success
Tsa: Semerbak sedap suasana sukses
4. Tsu: Papa, potatoes, poultry, prunes, and prims, are all very good words for the lips: especially prunes and
prisms (Charles Dickens, Little Dorrit)
Tsa: Papih, perkedel, unggas petelur dan pedaging, prém
dan prisma, adalah kata-kata yang sangat akrab di
bibir; terutama prém dan prisma.
5. Tsu: The mass of men lead lives of quiet desperation.
Tsa: Banyak masyarakat manusia menjalani hidup penuh
derita.
6. Tsu: He bravely breach’d his boiling bloody breast.
Tsa: Dengan dorongan dari dalam dirinya, dia dobrak
dinding dadanya yang penuh didih darah.

f. Penerjemahan Asonansi

Menurut Frye, et al (1985:52), asonansi adalah pengulangan bunyi vokal tengah, misalnya pada kata-kata fight dan hive; pan dan make. Biasaya asonansi sebagai tekanan suku kata secara efektif lebih banyak ditemukan pada sebuah baris puisi. Selanjutnya Harris (2005) dalam http://www.virtualsalt.com/rhetoric.htm mengemukakan bahwa asonansi adalah pengulangan bunyi vokal yang sama secara berulang-ulang dalam kata-kata yang berdekatan yang mengandung konsonan-konsonan berbeda. Sedangkan menurut Jordan (2008) dalam http:www.associatedcontent.com, asonansi adalah pengulangan bunyi vokal dalam kata-kata non-rima. Misalnya, Edgar Allan Poe dalam karyanya ”The Bells”, menggunakan asonansi vokal ”[e:]”. ’Hear the mellow wedding bells.’ dan Robert Louis Stevenson menggunakan asonansi vokal [ž] dalam ‘The crumbling thunder of seas’. Apa perbedaanya dengan rima? Rima (Rhyme) adalah sebuah efek yang diciptakan dengan cara memadukan atau mencocokkan bunyi-bunyi pada akhir kata-kata tertentu, misalnya efek bunyi pada kata-kata cat, fat; defeat, repeat; better, setter; clerical, spherical; cat, cot, dan hope, cup.

Dalam rima yang dikejar adalah keindahan bunyi. Perhatikan pada contoh cat, cot dan hope, cup, di sana bunyi vocal yang sama, namun kata-kata tersebut hanya mengejar bunyi akhir (konsonan) sama (Frye, et al, 1985:396). Jadi jelas asonansi dan rima itu berbeda.

Berikut adalah beberapa contoh asonansi yang diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Assonance.
1. ‘And murmuring of innumerable bees.’- Alfred Lord Tennyson, The Princess VII.203
2. ‘The solitude which suits abstruser musings.’ –Samuel Taylor Coleridge
3. ‘The Scurrying furred small friars squeal in the dowse.’ –Dylan Thomas
4. ‘It’s hot and it’s monotonous.’ –Stepehen Sondhein, Sunday in the Park with George, It’s Hot Up Here
5. ‘With the sound, with the sound, with the sound of the ground.’ – David Bwie, “Law (Earthlings on Fire)”

Permasalahannya adalah bagaimana asonansi-asonansi tersebut diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Tentunya penerjemahan asonansi ini tidaklah mudah karena penerjemah harus mampu mencari padanan makna dari tuturan yang berasonansi tersebut dan sekaligus mencari padanan bunyi yang serasi, sehingga diharapkan tuturan dalam Tsu yang berasonansi dapat diterjemahkan ke dalam tuturan Tsa yang berasonansi pula.

Beberapa contoh tuturan yang berasonansi itu dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
1. Tsu: Hear the mellow wedding bells.
    Tsu: Dengarlah dayuan gamelan kawin itu.
2. Tsu: The crumbling thunder of seas.
    Tsa: Petir laut yang pecah itu.
3. Tsu: It’s hot and it’s monotonous.
    Tsa: Gerah dan jemu.
4. Tsu: With the sound, with the sound, with the sound of the ground.
    Tsa: Bahana, bahana, bahana massa.
5. Tsu: Poetry is old, ancient, goes back far. It is among the oldest of living thing. So old it is that no man
           knows how and why the first poems came.
    Tsa: Sajak itu karya lama, jaman dahulu kala, datang jauhdari kala lama. Diantara jaman purbakala. 
           Maka banyak manusia yang tak tahu bagaimana dan mengapa sajak itu lahir.

g. Penerjemahan Verba IlLokusi (Illocutionary Verbs)

Yang dimaksud dengan verba ilokusi (Illocutionary verbs) adalah verba tindak-ujar atau tindak-tutur, yaitu verba yang berada pada pemandu dialog (dialog guide) dalam kalimat langsung (direct speech). Perhatikan contoh yang dikemukakan oleh Maclin (2001:139).
”We want to go,” the student said.

Verba yang ada dalam pemnadu dialog yaitu verba ‘said’ disebu verba ilokusi. Verba tindak tutur tersebut sangat menarik untuk diteliti karena setiap penerjemah menerjemahkannya berbeda beda sesuai dengan pilihan padanan yang tepat. Misalnya verba tindak-ujar ‘said’ itu mungkin diterjemahkan ‘mengatakan’, ‘menuturkan’, ‘menjawab’, ‘mengungkapkan’, dan lain-lain. Namun yang penting bahwa verba tersebut diterjemahkan sesuai dengan kelompok verba ilokusinya, yaitu sebagai verba tindak-ujar say (mengatakan) yang berkategori expressive. Verba ilokusi dalam kalimat di atas dapat diterjemahkan ke dalam variasi terjemahan sebagaia berikut:
1. Tsu : ”We want to go,” the student said.
Tsa : “Kami ingin pergi,” kata siswa itu.
2. Tsu : ”We want to go,” the student said.
Tsa : “Kami ingin pergi,” tutur siswa itu.
3. Tsu : ”We want to go,” the student said.
Tsa : “Kami ingin pergi,” ungkap siswa itu.
4. Tsu : ”We want to go,” the student said.
Tsa : “Kami ingin pergi,” siswa itu menjawab.

Leech (1993:323) memberi contoh verba-verba yang termasuk ke dalam verba ilokusi diantaranya: report (melaporkan), announce (mengumumkan), predict (meramalkan), admit (mengakui), opine (berpendapat), ask (meminta), reprimand (menegur), request (meminta), suggestion (menganjurkan), order (menyuruh), propose(mengusulkan ), express (mengungkapkan), congratulate (mengucapkan terima kasih), dan exhort (mendesak).

h. Penerjemahan Tuturan Ilokusi (Illocutionary Utterances)

Tuturan ilokusi (Illocutionary Utterances) adalah bagian kalimat yang menempati posisi kutipan (quotation). Berikut adalah contoh dari tuturan atau ujaran ilokusi.

An illocutionary utterance is spoken with intention of making contact with a listener. Illocutionary utterances are usually sentences that contain propositional utterances, that is, they refer to things in the word—but it is their intentional that is of the most importance. http://rdillman.com/HFCL/TUTOR/Relation/relate2.html)

Dari kutipan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tuturan ilokusi itu diucapkan dengan tujuan menghubungi pendengar. Tuturan ilokusi biasanya berupa kalimat yang mengandung tuturan proposisi, yaitu, proposisi yang merujuk pada segala sesuatu yang dianggap paling penting di dunia ini. Dalam hal ini tujuan penutur itu sangat memiliki peranan penting dan sangat menentukan terhadap makna tuturan yang dimaksud.
Berikut adalah contohnya:
Tsu : “I am tired.”
Tsa : “Saya lelah.”

Tuturan apa yang sebenarnya dituturkan oleh penutur dalam contoh kalimat di atas? Berdasar pada tujuan si penutur, tuturan tersebut mungkin mengandung maksud sebagai berikut:
Berdasarkan konteksnya, tuturan ”I am tired” tersebut mengandung beberapa kemungkinan tujuan untuk:
1) Menjawab seorang teman yang baru saja menanyakan apa yang saya rasakan. Dalam konteks ini tuturan ”I am tired” mengandung makna ”I am fatigued” dan berbentuk pernyataan (statement).
2) Menolak dengan sopan seseorang yang saya coba hindari karena dia mengajak apakah saya bersedia pergi dansa bersamanya nanti malam. . Dalam konteks ini tuturan ”I am tired” mengandung makna ”I’d rather not” dan berbentuk pernyataan (statement).
3) Meminta suami saya yang ketika itu sedang menontong TV bareng untuk mematikan TV dan segara pergi tidur. Dalam konteks ini tuturan ”I am tired” mengandung makna ”Could we turn this off?” dan berbentuk pertanyaan atau permintaan (question dan request).
4) Menyuruh anak saya yang masih kecil untuk segara tidur karena sudah larut malam namun dia memintaku pergi nonton film. Dalam konteks ini tuturan ”I am tired” mengandung makna ”No, go to bed” dan berbentuk perintah (command).
5) Dari gambaran tersebut di atas, penerjemahan tuturan ilokusi itu sangat menarik untuk dikaji dalam rangka meneliti bagaimana para penerjemah mempersepsikan pemahaman mereka dalam wujud terjemahan tuturan ilokusi.

i. Penerjemahan Nama Diri (Proper Names)

Menurut Crystal (1985:248), nama diri (proper nouns) adalah nama diri dari seseorang, tempat dan lain-lain, misalnya: Alice, Bill, Jakarta dan London. Dalam kaitannya dengan penerjemahan, nama diri ini jarang atau tidak pernah diterjemahkan karena penerjemah ingin mempertahankan aspek sosiobudaya Bsu, tidak ada padanan pada Bsa, Bsa tidak memiliki konsep transliterasi, dibiarkan karena penutur Bsa mudah untuk menuturkan nama diri yang dimaksud dengan ucapan yang sama. Dalam hal tidak terjadi penerjemahan (non-translation). Contohnya adalah sebuah kata nama diri dalam bahasa Inggris ”Alice” tidak diterjemahkan atau tidak ditransliterasi ke dalam Bsa tertentu, tetapi hanya disesuaikan saja dalam cara pengucapannya. Orang Francis dan Jerman tidak mengubah nama diri tersebut ke dalam bentuk transliterasi yang lain tetapi mereka mengucapkannya menjadi [A’li:s], serta orang Italia mengucapkannya [a’litche]. (Nord, 2003:182 dalam http://www.erudit.org/revue/meta/2003).

Dalam jurnal yang sama Nord (2003:183) menjelaskan bahwa nama diri ’Alice’ itu diterjemahkan secara berbeda-beda menurut bentuk transliterasi masing-masing penutur Bsu. Misalnya, dalam bahasa Spanyol menjadi ’Alicia’, dalam bahasa Finlandia mengalami adaptasi kultural menjadi ’Liisa’, dan dalam bahasa Brazilia menjadi ’Marina’.

Inilah yang menjadi daya tarik mengapa penerjemahan proper names ini perlu diteliti.

j. Penerjemahan Bunyi Tiruan (Onomatopoeia)

Frye (1985:326) mengatakan bahwa tiruan bunyi (onomatopoeia) adalah penggunaan kata yang dibentuk atau diucapkan menyerupai bunyi sesuatu, misalnya kata buzz untuk tiruan bunyi getaran sayap serangga, kata crack untuk tiruan bunyi benda yang patah, kata smack untuk tiruan bunyi pukulan, kata whinny untuk tiruan bunyi ketawa, dan lain-lain.

Menurut (Richards, 1992:255), onomatopoeia adalah peniruan bunyi suara alam dengan kata-kata atau kelompok kata, seperti moo untuk suara sapi, baa untuk suara kambing atau domba, cuckoo atau cuculus canorus (bahasa Latin) untuk suara ayam. Kalau untuk ayam jantan dalam bahasa Inggris tiruan bunyinya cock-a-doodle-do, dalam bahasa Jepang tiruan bunyinya kokekokko. Bagaimana jika semua tiruan bunyi itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia? Tentu saja penerjemah harus mencari padanan tiruan bunyi yang sesuai dengan sosio-kultural orang Indonesia, misalnya:
1. moo (English); mooh (Indonesian)
2. ging-dong (English); ning-nong (Indonesian)
3. meow (English); meong (Indonesian)
4. cock-a-doodle-do (English); kukuruyuk (Indonesian)
5. baa (English); béé (Indonesian)


k. Penerjemahan Eufemisme

Eufeumisme (Eufeumism) adalah pengungkapan kata-kata yang dianggap tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus (Frye, 1985:179). Dia memberi contoh untuk frase passed away (‘wafat’) atau gone to the great beyond (‘meninggal dunia’) untuk kata died (‘mati’) dan frase earthly remain untuk kata corpse (‘mayat’). Sehingga untuk kalimat His grandpa passed away bukan His grandpa died sehingga diterjemahkan pun harus disesuaikan secara sopan atau pantas menjadi dengan ‘Kakeknya meninggal dunia’ atau ‘Kakeknya wafat’ bukan “Kakeknya mati’, karena kata died atau ‘mati’ hanya pantas untuk binatang. MiIsalnya The dog died diterjemahkan menjadi ‘Anjing itu mati’.

Moentaha (2006:187) menambahkan bahwa eufeumisme adalah ungakapan yang disampaikan secara halus dan sopan, misalnya dalam bahasa Inggris ada ungkapan Not the most modest of men yang bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘Orang yang kesederhanaannya tidak berlimpah ruah’. Jika diungkapkan secara kasar, bisa saja ungkapan itu diterjemahkan menjadi ‘orang rakus’.

l. Penerjemahan Peribahasa

Holman dan Harmon (1995:380) mengatakan bahwa peribahasa (proverbs) adalah perkataan yang mengungkapkan suatu pengakuan kebenaran tentang kehidupan. Sedangkan menurut KBBI (2005:858), peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu atau ungkapan atau kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku.

Peribahasa ini banyak yang berupa metafora, ritme bahasa maupun aliterasi. Penerjemahan peribahasa ini membutuhkan kecakapan penerjemah untuk mencari padanan peribahasa dalam Bsa yang sesuai dengan konteks sosio-kulturalnya. Jadi terjemahan peribahasa dalam Tsa biasanya sangat jauh berbeda bentuknya dari Tsu.

Dalam hal ini Ekasari (2005:7-8) memberi contoh beberapa peribahasa yang diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
1. Tsu : A bad workman always blames his tools.
    Tsa : Buruk muka cermin dibelah.
2. Tsu : A bird in the hand is worth two in the bush.
    Tsa : Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan.
3. Tsu : A bird may be known by its song.
    Tsa : Bahasa menunjukkan bangsa.
4. Tsu : A bolt from the blue.
    Tsa : Bagaikan tersambar petir di siang bolong.

Referensi:


Crystal, D. 1985. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Oxford: Basil Blackwell Ltd.
Ekasari, H.M. 2005. Popular English Proverbs. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatama.
Frye, et al. 1985. The Harper Handbook to Literature. New York: Harper & Row, Publishers.
Jordan, T. 2008. “Alliteration, Assonance, and Consonance”. Diakses dari
Harris, R.A. 2005. A Handbook of Rhetorical Devices. Diakses dari http://www.virtualsalt.com/rhetoric.htm pada tanggal 24-08-2008.
Holman, C.H. and Harmon, W. 1992. A Handbook to Literature. New York: Macmillan Publishing Company.
Maclin, A. 2001. Reference Guide to English. A Handbook of English as a Second Language. USA: United Sates Department of States, Office of English Language Program.
Moentaha, S. 2006. Bahasa dan Terjemahan. Jakarta: Kesaint Blanc.
Nord, C. 2003. “Proper Names in Translation for Children”. META. Volume 48, numéro 1-2, Mai 2003, p.182-196. Downloaded from http://www.erudit.org/revue/meta/2003/v48/n1-1/006966ar.html. on August 6, 2008.
Richards, J.C. and Plat, J. and Plat, H. 1992. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics. England: Longman Group UK Limited.
Soemarno, T. 1988. Hubungan antara Lama Belajar dalam Bidang Penerjemahan
              ’Jenis Kelamin, Kemampuan Berbahasa Inggris’ dan Tipe-tipe Kesilapan 
               Terjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. 
               Unpublished Disertation. Malang: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan 
               Malang.

Kamis, 09 April 2009

Literary Translation

Dr. Rudi Hartono, M.Pd.
Translating a Novel: Problems and Solutions


Abstract

Translating a novel is more difficult than translating academic texts. Novel translators (Genetic factor) usually have problems in translating figurative languages (metaphors, similes, personifications, etc.) and idiomatic expressions because they should reproduce in the target language (TL) the closest natural equivalence of the source language (ST) message, firstly in terms of meaning and secondly in terms of style accepted socio-culturally. Other problems come from the translation document (e.g. an English novel translated into Bahasa Indonesia) and readers of the translated novel. The translation document (Objective Factor) has mistakes in equivalence of words. Some expressions are not translated into the acceptable ones in the target language. The readers of translated novel (Affective Factor) are often confused on what they are reading because some sentences are not understandable. The solution of those problems is to provide the novel translators some practical guidance of translating a novel in order to produce the high quality of translation product.

Key words: translation, novel, metaphors, similes, idiomatic expressions, , ST (Source Language), TL (Target Language)

Introduction


Novel as a broad and complete literary work is translated into many languages. Translating a novel seems difficult to do. It is not as easy as translating academic texts, such as texts of mathematics, biology, chemistry, etc. Translators usually have problems in translating this literary work. They have difficulties, for examples, in translating figurative languages and idiomatic expressions. The figurative languages and idiomatic expressions from the source language must be translated socio-culturally into the acceptable target language. This is what they face in translating a novel. Newmark (1988) in Suparman (2003:144-145) says that the translators of literary works mainly have difficulties in translating the linguistic aspects, socio-cultural aspects, and moral aspects implicitly stated in the literary works (e.g. novels).

Here are some difficulties that novel translators usually face every time on which they translate English novels into Indonesian. Firstly, linguistically they usually do not understand some long complex sentences with complicated structures. They also find so many very long paragraphs that are difficult to understand with complicated grammatical patterns. Secondly, culturally they are difficult to find out the closest natural equivalence of the socio-cultural terms exist in the novel because the author always uses unique words based on his or her cultural background. Thirdly, literarily they are difficult to translate figurative languages and idiomatic expressions are stated in the novel. Those difficulties always come to their mind and always make them hard to think about.

Hendarto Setiadi in Taryadi (http://wartahpi.org/content) adds that there are other problems of translating a novel. The first is unnatural ways of translating the title of novel, for example, a translator translated the title of novel “The Currious Incident of the Dog in the Middle of the Night-time” into “Insiden Anjing di Tengah Malam Buta yang Membuat Penasaran”. Is it translated accurately? We can analyze and assess it ourselves. This problem linguistically relates to lexical and structural problems. The second is inappropriate pronoun choices. Translators usually have difficulties in translating pronouns from English to Indonesian language because they should choose the nearest pronouns and almost the same as the target ones. The translators should translate the pronouns carefully and accurately by referring to appropriate equivalence of pronouns (based on the principles of exophoric and anaphoric references) and social context (level, position, and social status of someone) in the target language. For example, the pronoun YOU can be translated into various meanings, as follows:
1. (Tsu) Andi : Budi, are you fine today?
    (Tsa) Andi : Budi, apakah kamu baik-baik saja hari ini?
2. (Tsu) Andi : Do you teach English today, Sir?
    (Tsa) Andi : Apakah Anda mengajar bahasa Inggris hari ini, Pak?
3. (Tsu) Mr. X : Do you know me, Madam?
    (Tsa) Mr. X : Apakah Saudara mengenaliku, Nyonya?
 

From those examples, it is stated that the pronoun YOU can be translated into the various pronouns in Indonesian language based on the appropriate reference and social context. In the first sentence, the pronoun YOU is translated into KAMU because it refers to the same age level between two people (Andi and Budi). In the second sentence, the pronoun YOU is translated into ANDA because of the reference of social status (Andi and his teacher). The pronoun ANDA is more politely used than the pronoun KAMU. In the third sentence, the pronoun YOU is translated into SAUDARA because it refers to respecting adult people, particularly among the people who have not met one another, 3) the difficulties of translating figurative languages. This problem is much found in the novel translation. The followings are examples of it. It is the translation of metaphors:
1. Tsu : ‘Her words stabbed at his heart’.
    Tsa : ‘Kata-katanya menusuk kalbu’.
2. Tsu : ‘She has a heart of stone’.
    Tsa : ‘Dia berhati baja’.
3. Tsu : ‘All the world’s a stage’.
    Tsa : ‘Dunia adalah panggung sandiwara’.
4. Tsu : ‘Life is no bed of roses’.
    Tsa : ’Susah senang itu permainan hidup’.
5. Tsu : ‘Variety is the spice of life’.
    Tsa : ‘Perbedaan itu rahmat’.
 

All English metaphors above are not translated but replaced them with Indonesian metaphors because the important thing here is finding out the closest natural equivalence of metaphors used in the socio-cultural context of the target language. What the translator did is a good effort because he or she tried to translate the metaphors into metaphors that are accepted socio-culturally and contextually. If he or she translates the metaphors literally or word for word, the translation product will not be adaptive to the socio-cultural context of target language.

Hardjoprawiro (2006:35) argues that translating a novel is different from translating an ordinary text. The difference is on the usage of idiomatic expressions and figurative languages. The figurative languages and idiomatic expressions contain connotative meanings because they are categorized into literary words that are different from technical words or terms that have denotative meanings. He also adds that novel translators have problems in translating local proper nouns or names and very long paragraphs.


Iser in Bassnett-McGuire (1991:115) states that translating is not just rendering the explicit notion in the sentences but understanding the implicit purpose beyond the sentences or statements, so translators should do translating process carefully. Many novel translators do carelessness when they translate novels, for examples, they do mistakes in transferring information; add their own interpretation that is out of the original text; do narrow interpretation toward worth messages stated in the novel and finally they produce a bias translation that is not matched between the source text and the target one.


Those phenomena are very interesting to search, so it is important for us to conduct a research about problems of translating a novel and find out the solutions that will be useful for translators in particular and publishers in general.

Problems of Translating a Novel


There are many problems of translating a novel. Three of them are problems of translating metaphors, similes and idiomatic expressions.

1) Translating a metaphor
 

Translating a metaphor is different from translating an ordinary expression. A metaphoric expression is a statement that consists of metaphor. The metaphor itself is a literary form that is difficult to translate because it has complex contextual meanings. A metaphoric expression has two domains: target domain and source domain. The target domain is the concept that is described, whereas the source domain is the concept of analogy. According to Richards in Saeed (1997:302-303), the former is TENOR and the later is VEHICLE, for example, in the sentence ‘Computer is a human being’, the word ‘computer’ is TENOR, whereas ‘a human being’ is VEHICLE. The sentence above is not an ordinary statement but is a metaphoric expression. How can a computer be analogized as a human being? A translator needs to understand and appreciate the statement deeply because the metaphoric expression is very tied to speaker’s empirical domain, so the translator should be able to translate it according with the domain that is understood by translation text readers or listeners.

The metaphoric expression, for example, ‘Life is a journey’ has various meanings (Lakoff dan Turner in Saeed (1997:306). The meanings of that metaphoric expression can be as follows: 1) The person leading a life is a traveller; 2) His purposes are destinations; 3) The means for achieving purposes are routes; 4) Difficulties in life are impediments to travel; 5) Counsellors are guides; 6) Progress is the distance travelled; 7) Things you gauge your progress by are landmarks; 8) Material resources and talents are provisions.
Those various meaning can be translated into Indonesian language as follows: 1) Hidup itu kembara; 2) Hidup itu kelana; 3) Hidup adalah sebuah pengembaraan yang panjang; 4) Pengalaman adalah guru yang paling baik; 5) Hidup adalah safari tiada henti.
Holman and Harmon (1992:287) state that metaphor is an analogy that compares one object to the other directly, for example, ‘She is my heart’. The pronoun ‘she’ is directly compared to ‘heart’. It is an analogy that directly compares a lady to a heart. How can we treat the same a lady as a heart? That is a metaphor. In translating a metaphor, for instance, a translator should have an extraordinary skill in order to produce an accurate meaning in the target language and it is good for a the translator not just to translate the metaphor but to find a similar metaphor in the target language accurately based on its socio-culture and context. The metaphoric expression ‘She is my heart’ can be translated into Dia belahan jantung hatiku. See other examples of metaphoric expressions. ‘She is a book worm’ translated into Dia seorang kutu buku; ‘That man is a regular ass’ translated into Orang itu bodoh sekali, etc.


2) Translating a simile

 
Holman and Harmon (1995:44) state that simile is a figurative language that expresses indirectly the comparison of two objects. It is different from metaphor. The simile usually uses the linking words LIKE, AS, SUCH AS, AS IF, and SEEM, whereas the metaphor uses the auxiliary BE, for examples, ‘He is like a frog’ is a simile, whereas ‘He is a frog’ is a metaphor.


Moentaha (2006:190) stresses that simile compares two different objects that have different categories or classes, so the expression like ‘The boy seems to be as clever as his mother’ (Anak lelaki itu sepandai ibunya) is not a simile but an ordinary comparison because the words ‘boy’ and ‘mother’ are from the same category. According to him, the example of a simile is ‘He is as brave as a lion’ (Dis seberani banteng or Dia seberani pendekar) because the words ‘he’ and ‘lion’ are from the different category. The pronoun ‘he’ refers to the man, whereas the noun ‘lion’ refers to ‘ the animal’. But why is the word ‘lion’ translated into ‘banteng’ or ‘pendekar’ not ‘singa’? Contextually the word ‘banteng’ or’ pendekar’ is more acceptable in the socio-culture of Indonesia. Thus the English similes and also metaphors should be transferred and reproduced into the accepted language and culture.


See other example of simile translation. The expression ‘He is a sly as a fox’ is translated into ‘Dia secerdik kancil’ not ‘Dia secerdik rubah’. The word ‘fox’ is not natural in Indonesian context, so it is translated into ‘kancil’ not ‘rubah’ because the former is more natural than the later.


3) Translating an idiomatic expression

 
Crystal (1985:152) states that an idiom or idiomatic expression is the term that is used in grammar and lexicography that refers to a set of words limited semantically and syntactically and has a function as single unit. For example, the idiomatic expression ‘It’s raining cat and dogs’ cannot be translated word-for- word because that expression is an idiomatic expression. It must be translated into the target language idiomatically, so its accurate translation can be ‘Hujan lebat’.


Frye et al (1985:234) argue that idiom is a specific expression that is difficult to translate. For example, the expressions ‘Please, don’t mention it’; ‘Not at all’; ‘It was a pleasure’; or ‘Forget it’ as the response of ‘Thank you’ cannot be translated word-for-word but the translator should search the similar idiomatic expressions in Indonesian language accurately. For instance, those expressions can be transferred into Terima kasih kembali, not Jangan dipikirkan; Nggak apa-apa; Ini suatu hal yang menyenangkan; or Lupakan saja.
Richards (1992:172) adds that idiomatic expression is a single unit of which meaning cannot be separated, for example, ‘She washed her hands of the matter’ = ‘She refused to have anything more to do with the matter’, or other example, the idiomatic expression ‘May I wash my hands?’ does not mean that someone asks permission to wash both of his hands, however, it is just an idiom that is usually expressed by a student who asks permission to his teacher to go to the toilet room. Thus, that idiomatic expression can be translated into ‘Bolehkan saya ke belakang?’


Translating an idiomatic expression is the same as translating a metaphoric expression. It means that the translator should have a perspicacity and deep experience of target language and culture in order to be able to translate the idiomatic expressions accurately. Compare the following tow sentences that use the word ‘hands’: ‘Bill has two hands, a right hand and a left hand’ and ‘Bill is an old hand in the store’ (http:www.andeanwinds.com). The first sentence is a literal sentence that contains denotative or lexical meaning, whereas the second sentence is idiomatic sentence. The phrase ‘two hands’ in the first sentence is two real hands of Bill, however the phrase ‘an old hand’ in the second sentence means the man who has long experience in his job or ‘orang berpengalaman’ not ‘sebuah tangan tua’.


Solutions of Translating a Novel

There are some alternative solutions of translating a novel. The followings are what some experts and researchers propose. Hilaire Belloc in Bassnett-McGuire (1991:116) says that there are six rules of translating a prose (novel) that translators should refer to:
(1) The translator should not PLOD ON, word by word or sentence by sentence, but should ’always BLOCK OUT his work’. By BLOCK OUT, the translator should consider the work as an integral unit and translate in section, asking himself ‘before each what the whole sense is he has to render’.
(2) The translator should render IDIOM BY IDIOM and idioms of their nature demand translation into another form from that of the original’.
(3) The translator must render INTENTION BY INTENTION, bearing in mind that ‘the intention of a phrase in one language may be less emphatic than the form of the phrase, or it may be more emphatic’.
(4) The translator warns against LES FAUX AMIS, those words or structures that may appear to correspond in both SL and TL but actually do not, eg. ‘demander – to ask’, translated wrongly as ‘to demand’.
(5) The translator is advised to ‘transmute boldly’ and it is suggested that the essence of translating is ‘the resurrection of an alien thing in a native body’.
(6) The translator should never embellish.


Taryadi (2000:1) suggests that translator should follow the following rules in order to produce good translation products. The rules that the translators should keep are: 1) Translators ought to depend on their language feeling in translating novels; 2) They must have a good mastery of source language; 3) They should be able to master the target language and culture; 4) They should be familiar with the culture of source language; 5) They also should be familiar with the culture of target language; and 6) They must have a broad knowledge and science of literary works (http://wartahpi.org).


On the other hand, though in different object of translating an Arabic novel into Indonesian one, El Shirazy (2008:1-3) proposes six basic skills that can anticipate the problems of translating a novel that will be useful for translator if they do translating process. A translator of a novel should: 1) master the vocabulary of source language well; 2) master the grammar of source language completely; 3) should have a deep sense of language, particularly source language or understand the author’s will and purpose; 4) understand the socio-cultural of both source and target language; 5) have sense of literature well.


Besides keeping the applicable and practical rules or guidance of translating a novel, in order to produce a good translator product, translators should pay attention to essence of the translation process itself. A translator should understand the philosophy of translation. He or she should follow the cycle of translating process simultaneously. He or she ought to do the steps in the form of TRIPARTITE CYCLE as a natural model runs in translation process. This cycle puts three parts: author, translator, and reader in a simultaneous cycle. The author of novel is the source of information that should be known well by a translator because the author of novel has a will and purpose stated in the novel. His or her will or purpose are in the form of message. The novel is the message itself broadly. The message can be in the form of words, phrases, sentences, paragraphs, and texts. The message itself has both connotative and denotative meanings. It is a must for translator to understand, to know, and to recognize all well before they reproduce the message in the target language.

Conclusion
 

In order to avoid some problems and get an appropriate solution in translating a novel, even to produce a high quality of novel translation, translator should keep a basket of masteries of both source and target languages and cultures. They must follow the applicable rules and natural and simultaneous cycle of translating a novel.

References

Bassnett-McGuire, S. 1991. Tanslation Studies. Revised Edition. 
        London: Routledge.
Crystal, D. 1985. A Dictionary of Linguistics and Phonetics

        Oxford: Basil Blackwell Ltd.
Frye, et al. 1985. The Harper Handbook to Literature. New York: 

        Harper Row, Publishers.
El Shirazy, H. 2008. Modal Menterjemahkan Karya Sastra Arab ke Indonesia. Makalah dalam Seminar   

        Nasional Terjemahan Karya Sastra dan Subtitling: “Terjemahan dalam Berbagai Wajah: Novel,    
        Komik  dan Film”. Semarang: Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Dian Nuswantoro Semarang.
Holman, C.H. and Harmon, W. 1992. A Handbook to Literature. New York: 

        Macmillan Publishing Company.
Hardjoprawiro, K. 2006. Bahasa di Dalam Terjemahan. Surakarta: 

        Sebelas Maret University Press.
Hartono, R. 2009. Teori Penerjemahan: A Handbook for Translators. Semarang: 

        Cipta Prima Nusantara.
Moentaha, S. 2006. Bahasa dan Terjemahan. Jakarta: Kesaint Blanc.
Richards, J.C. and Plat, J. and Plat, H. 1992. Longman Dictionary of 

        Language Teaching and Applied  Linguistics. England: 
        Longman Group UK Limited.
Saeed, J.I. 1997. Semantics. Oxford: Blackwell Publisher Ltd.
Suparman. 2003. Terjemahan Sastra. Proceeding Paper. Kongres Nasional Penerjemahan. 

        Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa & Program Pascasarjana, USM Surakarta.
Taryadi, A. 2000. Laporan Diskusi Penerjemahan Relativitas dalam Penerjemahan: 

        Masalah Benar Salah. Lintas Budaya. No. 19/VIII/12.
Taryadi, A.2007. Kritik Terjemahan di Indonesia. Indonesia: FIT 5th Asian 

        Translators Forum. Downloaded from http://wartahpi.org/content/blogcategory/15/54/ 
        on March 3, 2007.