Selasa, 16 Desember 2014

Penilaian Hasil Terjemahan


Dr. Rudi Hartono, M.Pd.

Bagaimana Menilai Hasil Terjemahan?


1. Tujuan Penilaian Kualitas Terjemahan


Menurut Larson (1991:532), paling tidak ada tiga alasan menilai terjemahan. Pertama, penerjemah ingin meyakini bahwa terjemahannya itu akurat (accurate). Artinya bahwa apakah terjemahannya itu sudah mengkomunikasikan makna yang sama dengan makna yang ada dalam Tsu atau belum, apakah makna yang ditangkap pembaca Tsu itu sama dengan makna yang ditangkap pembaca Tsa atau tidak. Kemudian ia ingin yakin apakah tidak terjadi penyimpangan atau distorsi makna dalam teks terjemahannya. Selanjutnya dia perlu meyakini bahwa dalam terjemahannya tidak terjadi penambahan, penghilangan, atau perubahan informasi atau pesan. Dalam usahanya menangkap dan mengalihkan makna Tsu ke Tsa, ia bukan tidak mungkin secara tidak sadar menambah, mengurangi, atau menghilangkan pesan penting. Di samping itu kadang-kadang kekeliruan dilakukan pada saat menganalisis makna Tsu atau dalam proses pengalihan. Oleh karena itu, penilaian terhadap tingkat keakuratan (accuracy) perlu dilakukan.

Kedua, penerjemah ingin mengetahui apakah hasil terjemahannya itu jelas (clear) atau tidak. Artinya bahwa pembaca sasaran (target reader) dapat memahami terjemahan itu dengan baik. Dengan istilah lain clarity atau kejelasan ini sama dengan readability yaitu suatu keadaan dapat dibaca. Artinya teks terjemahan tersebut dapat dipahami dan dimengerti. Dalam hal ini Bsa yang digunakan adalah bahasa yang elegan, sederhana, dan mudah dipahami. Untuk meyakini bahwa terjemahannya dapat dipahami dengan baik, penerjemah perlu meminta penutur Bsa untuk membaca naskah terjemahannya agar dapat memberitahukan isi naskah/informasi/pesan yang disampaikan dalam terjemahan itu. Penerjemah perlu mendapatkan informasi mengenai bagian naskah yang sulit dipahami, sehingga jika ada bagian naskah yang sulit dibaca atau dipahami itu artinya terjemahannya belum mencapai tingkat kejelasan (clarity) yang diharapkan. Maka dari itu pengecekan ulang harus dilakukan.

Ketiga, penerjemah ingin mengetahui apakah terjemahannya wajar (natural) atau tidak. Artinya apakah terjemahannya itu mudah dibaca dan menggunakan tata bahasa dan gaya yang wajar atau lazim sesuai dengan tata bahasa atau gaya yang digunakan oleh penutur Bsa. Artinya apakah hasil terjemahannya itu alami atau kaku. Penerjemah perlu mengetahui bahwa terjemahannya terasa wajar sehingga pembaca sasaran seolah-seolah membaca karangan yang bukan hasil terjemahan. Maka dari itu terjemahan harus diuji apakah telah menggunakan bahasa yang wajar atau lumrah atau belum. Jika terjemahan itu tidak mencapai tingkat kewajaran (naturalness) wajar, maka revisi harus dilakukan. Sadtono (1985:9) menambahkan bahwa hasil terjemahan itu hendaklah wajar. Artinya bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan yang tidak menyadur sifat-sifat bahasa asal ke dalam bahasa pertama. Maksudnya, terjemahan itu janganlah mengandung ”bahasa saduran”, yakni terlalu mempertahankan bentuk bahasa sumber hingga isi dan kesan berita menjadi rusak.

Jadi ketepatan, kejelasan, dan kewajaran atau kealamiahan adalah tiga pokok penting yang harus dijadikan bidikan dalam evaluasi terjemahan.

2. Jenis-jenis Penilaian Kualitas Terjemahan

Banyak para pakar penerjemahan yang mengemukakan tentang strategi penilaian kualitas terjemahan. Dalam kajian ini akan dipaparkan beberapa strategi penilaian kualitas terjemahan yang dapat digunakan secara terpadu atau terpisah sesuai dengan jenis teks yang diterjemahkan atau maksud penerjemahan. Walaupun hampir semua strategi tersebut banyak digunakan untuk mengevaluasi hasil terjemahan teks non-sastra. Akan tetapi beberapa di antaranya dapat digunakan juga untuk mengevaluasi hasil terjemahan karya sastra, khususnya prosa, walaupun kriteria penilaian kualitas terjemahan karya sastra itu disediakan secara tersendiri. Berikut adalah beberapa strategi penilaian kualitas terjemahan yang dimaksud:


a) Uji keakuratan (Accuracy test)

Uji keakuratan (accuracy test) berarti mengecek apakah makna yang dipindahkan dari Tsu itu sama dengan yang ada di Tsa. Tujuan penerjemah adalah mengkomunikasikan makna secara akurat. Penerjemah tidak boleh mengabaikan, menambah atau mengurangi pesan yang terkandung dalam Tsu karena terpengaruh oleh bentuk formal BSa. Untuk menyatakan makna secara akurat, penerjemah boleh melakukan perubahan bentuk atau struktur gramatika. Nida dan Taber (1982:13) menegaskan bahwa pesan harus diutamakan karena isi pesanlah yang terpenting. Ini berarti bahwa penyimpangan tertentu yang agak radikal dari struktur formal itu diperbolehkan atau bahkan diperlukan.

Larson (1984:490) mengemukakan tujuan utama dari uji keakuratan sebagai berikut:
1. Mengecek kesepadanan isi informasi. Pengecekan ini dilakukan untuk meyakini bahwa semua informasi disampaikan, tidak ada yang tertinggal, tidak ada yang bertambah, dan tidak ada yang berbeda.
2. Setelah semua informasi diyakini telah ada, penerjemah perlu mencari masalah lainnya dengan cara membandingkan Tsu dan Tsa. Dia perlu mencatat hal-hal yang perlu dipertimbangkan ulang. Dia harus seobjektif-objektifnya menilai pekerjaannya secara kritis. Pada saat yang sama, dia harus berhati-hati, jangan sampai ia mengganti sesuatu yang seharusnya tidak perlu diganti.

Teknik yang terbaik dilakukan dalam hal uji keakuratan adalah mengetik draf dengan dua spasi dan dengan margin lebar, sehingga ada ruang yang dapat digunakan untuk menulis perbaikan-perbaikan. Maksud uji untuk mengecek apakah makna dan dinamika Tsu itu benar-benar telah dikomunikasikan dalam terjemahan atau tidak.

Mempertahankan dinamika Tsu berarti terjemahan yang disajikan mengundang respon pembaca Tsa sama dengan respon pembaca Tsu (Larson: 1984:6). Penerjemah harus setia pada Tsu. Untuk melakukan hal ini, dia harus mengkomunikasikan bukan hanya informasi yang sama, tetapi juga respon emosional yang sama dengan naskah asli.

Untuk menghasilkan terjemahan yang memiliki dinamika yang sama dengan naskah aslinya, terjemahan itu haruslah wajar dan mudah dimengerti, sehingga pembaca mudah menangkap pesannya, termasuk informasi dan pengaruh emosional yang dimaksudkan oleh penulis naskah BSu (Larson: 1984:33).

b) Uji keterbacaan (Readability test)

Larson (1984:499-500) mengemukakan bahwa uji keterbacaan (readability test) dimaksudkan untuk menyatakan derajat kemudahan apakah sebuah terjemahan itu mudah dipahami maksudnya atau tidak. Tulisan yang tinggi keterbacaannya lebih mudah dipahami daripada yang rendah. Sebaliknya, tulisan yang lebih rendah keterbacaannya lebih sukar untuk dibaca. Keterbacaan ini meliputi pilihan kata (diction), bangun kalimat (sentence construction), susunan paragraph (paragraph organization), dan unsur ketatabahasaan (grammatical elements), jenis huruf (size of type), tanda baca (punctuation), ejaan (spelling), spasi antarbaris (spaces between lines), dan ukuran marjin (size of margin).

Uji keterbacaan dilakukan dengan cara meminta seseorang membaca sebagian naskah terjemahan itu dengan keras. Begitu dia membaca, penilai memperhatikan di mana letak pembaca merasa bimbang. Kalau dia berhenti dan membaca ulang kalimat itu, maka penguji harus mencatat bahwa ada masalah keterbacaan. Kadang-kadang pembaca tampak berhenti dan bertanya-tanya mengapa bacaannya demikian. Uji keterbacaan menurut Larson (1984) di atas secara praktis sama dengan Teknik Membaca dengan Suara Nyaring (Reading-Aloud Technique)-nya Nida dan Taber (dalam Nababan, 2004b:56).

c) Uji kewajaran (Naturalness test)

Larson (1984:10) menyatakan bahwa tujuan penerjemahan di antaranya adalah menghasilkan terjemahan idiomatik, yaitu terjemahan yang maknanya sama dengan bahasa sumber yang dinyatakan dalam bentuk yang wajar dalam Bsa. Maka dari itu tujuan dari uji kewajaran (naturalness test) itu sendiri adalah melihat apakah bentuk terjemahannya itu alamiah atau sudah tepat dengan gaya bahasa Bsa atau belum.

Selanjutnya Larson (1984:497) mengemukakan bahwa terjemahan itu dinilai wajar jika:
1. Makna dalam Tsu dikomunikasikan dengan akurat.
2. Makna yang dikomunikasikan ke dalam BSa menggunakan bentuk gramatika dan kosa kata yang lumrah atau wajar.
3. Terjemahan itu mencerminkan tindakan komunikasi yang lazim ditemui dalam konteks dan antar komunikan dalam BSa.

Uji kewajaran harus dilakukan oleh penilai yang sudah membaca seluruh terjemahan dan membuat komentar dan saran-saran yang diperlukan. Penilai harus terfokus pada tingkat kewajaran serta berupaya bagaimana meningkatkan kewajaran dan gaya bahasa dalam terjemahan.


d) Uji keterpahaman (Comprehension testing)


Newmark (1988:198) mengemukakan bahwa uji keterpahaman (comprehension testing) dilakukan untuk mengetahui apakah terjemahan yang dihasilkan itu dapat dimengerti dengan benar oleh penutur BSa atau tidak. Uji keterpahaman ini terkait erat dengan masalah kesalahan referensial yang mungkin dilakukan oleh penerjemah. Kesalahan referensial adalah kesalahan yang menyangkut fakta, dunia nyata, dan proposisi, bukan menyangkut kata-kata.

Berikut adalah ulasan yang dikemukakan oleh Larson (1984:493-497). Uji keterpahaman ini dilakukan dengan meminta orang menceriterakan ulang isi terjemahan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengenai terjemahan itu. Uji keterpahaman menyangkut pengujian terhadap Tsu, bukan pengujian terhadap responden. Para responden perlu diberitahukan bahwa tes itu bukan untuk mengetes kemampuannya, tetapi untuk mengetes keterpahaman terjemahannya. Tes itu bukan tes kemampuan, bukan pula menguji ingatan responden. Tes itu semata-mata untuk melihat apakah terjemahan itu dapat dipahami oleh pembaca sasaran atau tidak.

Langkah yang ditempuh dalam uji ini meliputi dua hal. Pertama yaitu memberi tinjauan ulang. Dalam hal ini responden diminta untuk menceriterakan ulang atau memberi ringkasan isi naskah yang dibacanya. Tujuan meminta menceriterakan ulang adalah untuk melihat apakah alur utama kejadian atau alur tema jelas. Jika mereka dapat menceriterakan dengan benar, maka jelas bahwa terjemahan itu mengkomunikasikan pesan secara umum. Jika mereka sulit menceriterakan ulang temanya, mungkin diperlukan revisi struktur wacana terjemahan.

Penilai sebaiknya tidak menginterupsi responden pada saat menceriterakan ulang isi naskah terjemahan. Tetapi, dia cukup mencatat apa yang diceriterakan atau merekamnya dengan kaset. Dia tidak boleh mengganggu alur pikiran responden, seperti membenarkan atau menyalahkan. Selain dalam bentuk lisan, responden dapat juga diminta menceriterakan ulang isi terjemahan itu dalam bentuk tulis. Responden menceriterakannya dengan kata-katanya sendiri. Jadi, dia melakukan semacam parafrase. 

Langkah kedua untuk menguji keterpahaman adalah membuat pertanyaan mengenai naskah yang diterjemahkan. Pertanyaan itu harus disiapkan lebih dahulu, tidak dilakukan secara tiba-tiba. Hal ini dapat memberikan waktu penilai untuk memikirkan hal-hal yang diharapkan responden pahami dan menentukan dengan tepat hal-hal yang dia ingin cek. Dengan cara ini dia dapat merumuskan pertanyaan dengan cermat, sehingga ia dapat memperoleh informasi yang dia cari.

Ada beberapa jenis pertanyaan. Setiap jenis memiliki maksud yang berbeda. Pertanyaan bisa diarahkan untuk memberi informasi tentang gaya wacana, atau tentang tema naskah, atau pertanyaan rinci.

Pertanyaan gaya menyangkut genre dan gaya naskah. Tujuannya adalah untuk melihat bahwa naskah disampaikan secara tepat dan terampil. Pertanyaan yang dapat diajukan seperti (a) Ceritera jenis apa ini?, (b) Apakah orang yang berceritera muda atau tua, pria atau wanita?, (c) Apakah ia berceritera kepada anak-anak atau kepada orang tua? Pertanyaan tema menyangkut subjek pembahasan secara keseluruhan. Pertanyaan yang dapat diajukan seperti: “Masalah apa yang dibahas dalam tulisan itu?”. Pertanyaan rinci menanyakan tentang informasi tertentu dalam teks terjemahan. Pertanyaan, misalnya, dapat dimulai dengan kata siapa, kapan, apa, di mana, mengapa, dan bagaimana atau bergantung pada tujuan penilai.

e) Uji keajegan (Consistency Check)


Uji keajegan (consistency check) sangat diperlukan dalam hal-hal yang bersifat teknis. Duff (1981: 27) menegaskan bahwa tidak ada aturan baku mengenai bagaimana cara yang terbaik menyatakan ungkapan BSu. Namun, dapat dicatat bahwa ada beberapa kelemahan yang harus dihindari. Salah satu kelemahan itu adalah ketidakajegan (inconsistency).

Larson (1984:500-501) menyatakan bahwa Tsu biasanya memiliki istilah kunci yang digunakan secara berulang-ulang. Jika Tsu panjang atau proses penyelesaian terjemahan memakan waktu lama, maka ada kemungkinan terjadinya ketidakajegan penggunaan padanan kata untuk istilah kunci itu. Maka dari itu pada akhir penerjemahan penerjemah perlu melakukan pengecekan terhadap ketidakajegan itu. Hal ini biasanya terjadi pada penerjemahan atau terjemahan dokumen politik, teknik, ekonomi, hukum, pendidikan, atau agama.

Keajegan juga merupakan target yang dicapai dalam pengeditan yang harus membutuhkan perhatian yang cermat. Misalnya, keajegan dalam hal ejaan nama orang dan tempat amat diperlukan. Kata-kata asing yang dipinjam dan digunakan beberapa kali harus diperiksa keajegannya ejaannya. Penggunaan tanda baca, huruf kapital harus diperiksa secara cermat. Apakah penggunaan tanda tanya (?), koma (,), kurung ( ), titik dua (:), titik koma (;), tanda seru (!) atau tanda baca lainnya digunakan secara ajeg.

Pada pengecekan terakhir, format naskah dan materi pelengkap lainnya seperti catatan kaki, glosari, indeks, atau daftar isi harus diperiksa secara cermat. Jika penerjemah tidak yakin bagaimana cara mengedit yang benar, dia perlu membaca buku panduan yang menyangkut ejaan, tanda baca, dan sebagainya.

f) Terjemahan balik (Back-translation)


Soemarno (1988:33-34) menyatakan bahwa terjemahan balik (back-translation) terjadi ketika suatu teks dalam bahasa A diterjemahkan ke dalam bahasa B. Hasil terjemahan dalam bahasa B diterjemahkan kembali ke dalam A1. Untuk menilai hasil terjemahan itu, terjemahan A1 dibandingkan dengan teks asli A. Semakin dekat terjemahan A1 terhadap teks asli A, semakin tinggi nilainya. Terjemahan A1 memang tidak akan sama dengan teks asli A.

Demikian halnya Nababan (2004a:48) mengemukakan penjelasan yang sama bahwa strategi lain yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas terjemahan adalah terjemahan balik (back-translation). Secara praktis, teks bahasa Inggris (Teks A), misalnya, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Teks B). Kemudian Teks B diterjemahkan kembali ke Teks A1. Semakin sama pesan Teks A1 dengan pesan Teks A, maka semakin akurat pesan Teks B.


g) Uji pengetahuan (Knowledge test)

Uji pengetahuan (knowledge test) ini digunakan untuk menilai kualitas terjemahan teks teknik. Teknik ini dilakukan melalui pengujian pengetahuan pembaca tentang isi teks Bsa. Pembaca teks Bsa diminta membaca teks terjemahan dan menjawab pertanyaan dalam kuesioner yang telah dipersiapkan oleh penilai. Jika pembaca teks terjemahan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan benar sebanyak pertanyaan yang dijawab dengan benar oleh pembaca teks Bsu, itu merupakan indikasi bahwa pesan teks terjemahan sudah sama dengan teks Bsa (Brislin dalam Nababan, 2004a:48).

Namun demikian tetap, bahwa teknik ini pun melahirkan simpulan yang keliru perihal kualitas terjemahan, karena alasan-alasan sebagai berikut:
1. Diasumsikan bahwa pembaca diperkenankan untuk membaca teks terjemahan ketika dia menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner, sehingga kemampuan dan ketidakmampuan pembaca dalam menjawab pertanyaan itu belum bisa dikatakan sebagai indikator bahwa suatu hasil terjemahan itu akurat atau tidak akurat.
2. Meskipun uji pengetahuan ini menghendaki penilai untuk membandingkan tanggapan pembaca teks Bsa dengan tanggapan pembaca teks Bsu, pendekatan tersebut tidak mempertimbangkan bahwa interpretasi pembaca terhadap teks sangat terikat oleh latar belakang budaya dan kompetensi membaca para pembaca, sehingga ada kemungkinan bahwa dua pembaca teks Bsa yang mempunyai latar belakang budaya yang sama itu akan menginterpretasikan teks secara berbeda.

h) Uji performansi (Performance test)

Uji performansi (performance test) pada umumnya digunakan untuk menilai kualitas terjemahan dokumen-dokumen teknik. Brislin (dalam Nababan, 2004a:48) mengatakan bahwa dengan uji performansi, penilai dapat menentukan kualitas teks terjemahan melalui pengujian performansi teknisi yang harus menggunakan teks terjemahan untuk memperbaiki atau menyetel bagian dari suatu peralatan.

Uji performansi ini masih memiliki beberapa kelemahan-kelamahan. Diantaranya, pertama, uji performansi tidak mampu menilai kualitas terjemahan non-teknik (misalnya teks sastra). Kedua, hasil terjemahannya tidak selalu mencerminkan pesan secara akurat. Ada kemungkinan bahwa terjemahan yang dibaca oleh teknisi yang bersangkutan sebenarnya tidak berkualitas, namun dia dapat memperbaiki suatu peralatan itu karena sebelumnya dia telah membaca teks terjemahan atau dia sudah mempunyai pengalaman untuk memperbaikinya.

3. Kriteria Penilaian Kualitas Terjemahan

Berkaitan dengan kriteria penilaian hasil terjemahan, Hurtado Albir (2001:283) mengusulkan empat prinsip dasar yang harus diperhatikan:
1) Penguji (evaluator) harus setia terhadap kriteria yang ditetapkan dan yang diuji (evaluaee) harus sadar terhadap kriteria yang ada.
2) Kriteria penilaian bergantung pada konteks (jenis teks yang diterjemahkan) dan fungsi penilaian (jenis test yang digunakan), sehingga harus dipertimbangkan mengapa, untuk apa dan untuk siapa penilaian itu dilakukan.
3) Objek penilaian (apa yang sedang dinilai). Dalam hal ini penilai juga seharusnya mempertimbangkan apa yang seharusnya dia evaluasi dan apa yang dapat dia evaluasi.
4) Penilai atau penguji hasil terjemahan seharusnya mempertimbangkan beberapa indikator agar dia mampu mengenali apakah yang diuji (evaluee) itu mempunyai kompetensi teruji.

Referensi:


Duff, A. 1981. The Third Language: Recurrent Problems of Translation into English. England: Pergamon Press.

Larson, M.L. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence. Lanham: University Press of Amerika,Ô  Inc.

Larson, M.L.1991. Penerjemahan Berdasarkan Makna: Pedoman untuk Pemadanan Antarbahasa. Jakarta; Penerbit Arcan.

Nababan, M.R. 2004a. Translation Process, Practices, and Products of Professional Indonesian Translators. Unpublished Disertation. New Zealand: Victoria University of Welington.


Nababan, M.R. 2004b. Strategi Penilaian Kualitas Terjemahan. Jurnal Linguistik Bahasa. Volume 2, No. 1 Tahun 2004, 54-65, ISSN: 1412-0356. Surakarta: Program Studi Linguistik. Program Pascasarjana.
Nida, E. A. dan Taber, C. R. 1982. The Theory and Practice of Translation
             Leiden: E.J. Brill.

Soemarno, T. 1988. Hubungan antara Lama Belajar dalam Bidang Penerjemahan
            ’Jenis Kelamin, Kemampuan Berbahasa Inggris’ dan Tipe-tipe Kesilapan 
             Terjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. 
             Unpublished Disertation. Malang: Institut Keguruan dan Ilmu 
             Pendidikan Malang.

Kamis, 11 Desember 2014

Information

http://www.pifonline.org.uk/

Dear readers and colleagues,

CL3TS invites you to send us your own articles, photos, designs, and other information about linguistic issues, literary works, language teaching activities, and translation problems. We are going to publish them in this blog. Please send yours in the form of Microsoft Document and Pdf files or JPEG images to:

Thanks for your attentions.

Best regards,
CL3TS Organizer


Rabu, 13 Mei 2009

Problematika dalam Penerjemahan

Dr. Rudi Hartono, M.Pd.

Ragam Kesulitan dalam Penerjemahan

1. Kesulitan-kesulitan dalam Penerjemahan

Soemarno (1988:19-21) mengutarakan bahwa seorang penerjemah, di dalam tugasnya, akan menghadapi berbagai macam kesulitan, misalnya kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan makna, seperti makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual atau situasional, makna tekstual, dan makna sosio-kultural. Makna-makna itu sendiri ada yang secara mudah dapat diterjemahkan (translatable) dan ada yang sulit sekali bahkan mungkin tidak dapat diterjemahkan (untranslatable). Makna-makna yang sulit diterjemahkan biasanya makna-makna yang berkaitan dengan sosio-kultural. Di samping kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan makna, penerjemah mungkin dihadapkan pula dengan kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan materi-materi yang diterjemahkan, misalnya materi-materi yang berhubungan dengan teks-teks sastra. Misalnya, kesulitan menerjemahkan lelucon, peribahasa, dan beberapa gaya bahasa (figurative languages) yang berkaitan dengan sosio-kultural tertentu. Sehingga tidak jarang, nilai dan rasa keindahan dalam Tsu itu hilang dalam Tsa atau paling tidak muncul rasa kaku dan hambar dalam hasil terjemahannya.

2. Kesilapan-kesilapan dalam Penerjemahan

Kesilapan (errors) dapat dibedakan dengan kesalahan (mistake). Menurut kamus umum elektronik Longman Active Study Dictionary (2002), ”Error is a mistake you made in something you are doing, that can cause problems.” Dari batasan di atas, kesilapan adalah kesalahan yang dibuat oleh seseorang tatkala ia sedang mengerjakan atau melakukan sesuatu, sehingga dari kecerobohannya itu menimbulkan masalah. Sedangkan menurut kamus umum elektronik Microsoft Encarta (2005), “Error is something unintentionally done wrong, for example, as a result of poor judgment or lack of care.” Dari definisi di atas dinyatakan bahwa kesilapan adalah sesuatu yang dikerjakan dengan salah secara tidak disadari atau tanpa di sengaja.

Selanjutnya dalam kamus umum elektronik Longman Active Study Dictionary (2002), “Mistake is something that you do by accident, or is the result of a bad judgment.” Batasan tersebut menyatakan bahwa kesalahan atau kekeliruan adalah sesuatu yang dilakukan secara tidak sengaja atau sebagai akibat dari pertimbangan yang buruk atau salah. Sedangkan kamus umum elektronik Microsoft Encarta (2005), “Mistake is an incorrect, unwise, or unfortunate act or decision caused by bad judgment or a lack of information or care.” Kesalahan adalah suatu tindakan atau keputusan yang salah atau tidak bijaksana, yang disebabkan oleh pertimbangan yang buruk atau kurang informasi atau kurang teliti.

Bagaimana kesilapan atau kesalahan jika dikaitkan dengan penerjemahan? Yang akan diangkat pembahasan ini lebih fokus pada konsep kesilapan (errors). Menurut Corder (dalam Soemarno, 1988:61), kesilapan itu bersifat sistematik. Kesilapan ini dapat berwujud salah ucap dan salah tulis. Schumann dan Stension (dalam Soemarno, 1988:64) membagi kesilapan dalam penerjemahan ke dalam tiga kategori.
1) Kesilapan-kesilapan yang disebabkan oleh terjadinya kekurang- sempurnaan pemerolehan gramatikal
    Bsu dan Bsa.
2) Kesilapan-kesilapan yang dihubungkan dengan situasi mengajar dan belajar.
3) Kesilapan-kesilapan yang bersumber pada masalah kemampuan atau kinerja.

Adapun Selinker (dalam Soemarno, 1988:64) menyebutkan bahwa ada lima proses yang dianggap sebagai sumber kesilapan, terutama bagi para pembelajar bahasa pertama (L1) dan bahasa kedua (L2) atau bahasa asing (FL).
1) transfer kebahasaan
2) transfer pemberian latihan
3) strategi belajar L2/FL
4) strategi untuk berkomunikasi dengan L2
5) peng-overgeneralisasian materi linguistik Bsa.

Berbeda dengan Schuman dan Stension, Brown (dalam Soemarno, 1988:64-65) menyoroti kesilapan yang dilakukan oleh seorang penerjemah itu adalah karena ia tidak menguasai teori-teori penerjemahan dan pengetahuan-pengetahuan penunjang lainnya seperti pengetahuan umum, sosiologi, kebudayaan, filsafat, dan pengetahuan tentang isi materi (content) yang sedang diterjemahkannya.

Berkaitan dengan kesilapan (errors), Hurtado Albir (2001:281) mengemukakan bahwa kesilapan dalam penerjemahan (translation errors) dapat dibagi ke dalam empat tipologi kesilapan (typology of errors):

1) Perbedaan antara kesilapan yang berkaitan dengan Tsu (opposite sense, nonsense, addition, suppression)  dan kesilapan yang berkaitan dengan Tsa (spelling, vocabulary, syntax, coherence, cohesion) (Kupsch-Losereit, 1985; Delisle, 1993; Hurtado Albir, 1995, 1999).
2) Perbedaan antara kesilapan fungsional (functional errors) dan kesilapan mutlak (absolute errors). Kesilapan fungsional berkaitan dengan pelanggaran aspek-aspek fungsional kebahasaan dalam teks yang diterjemahkan, sedangkan kesilapan mutlak berkaitan dengan pelanggaran aturan-aturan linguistik atau kultural yang digunakan dalam teks terjemahan (Gouadec, 1989; Nord, 1996).
3) Perbedaan antara kesilapan-kesilapan sistematik (systematic errors) yang terus berulang atau kumat dalam diri penerjemah dan kesilapan-kesilapan non-sistematik (random errors) yang diakibatkan oleh kondisi psikologis penerjemah (Spilka, 1989).
4) Perbedaan antara kesilapan-kesilapan dalam produk terjemahan dan kesilapan-kesilapan dalam proses penerjemahan.

Selanjutnya Gile (dalam Hurtado Albir, 2001:282) membedakan tiga buah penyebab kesilapan (three causes of errors) yang sering dimiliki oleh penerjemah adalah karena:
1) kurang pengetahuan (lack of knowledge) tentang ekstralinguistik dalam Tsu dan Tsa
2) kurang menguasai metodologi (lack of methodology)
3) kurang memiliki motivasi (lack of motivation)

3. Masalah-masalah Linguistik dalam Penerjemahan

Dalam penelitian ini fokus kajian tentang masalah linguistik adalah hanya pada dua kategori, yaitu kategori gramatikal dan kategori leksikal.

a. Kategori Gramatikal
Moentaha (2006:15-22) memaparkan beberapa masalah penerjemahan yang berkaitan dengan kategori gramatikal, diantaranya yang menyangkut bentuk-bentuk tunggal dan jamak (singular dan plural nouns), aspek (aspects), dan genus (gender).

1) Masalah bentuk tunggal dan jamak
Yang menjadi kesulitan bahasa dalam penerjemahan juga adalah perbedaan sistem gramatikal yang berkaitan dengan kata benda tunggal dan jamak. Sistem gramatika bentuk kata benda tunggal dan jamak dalam bahasa Inggris berbeda dengan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris memiliki indikator-indikator jamak, misalnya morfem -s (indikator jamak) dalam kata benda chairs dan books atau -es (indikator jakam) seperti pada kata benda box-boxes dan houses yang berasal dari bentuk tunggalnya chair (tunggal) yang tidak memiliki indikator atau berindikator nol (zero indicator), morfem –en pada kata benda oxen (jamak) yang berasal dari kata benda tunggalnya ox, perubahan vokal a (indikator tunggal) menjadi e(indikator jamak) seperti dalam man-men; woman-women, dan fonem –oo– (indikator tunggal) seperti dalam kata benda tooth dan foot menjadi –ee– (indikator jamak) seperti dalam kata benda teeth dan feet.

2) Masalah aspekAspek adalah kategori verba yang menyatakan berlangsungnya suatu perbuatan, misalnya aspek perfektif (perfective aspect) yang menyatakan bahwa perbuatan itu telah dilakukan atau baru saja selesai dilakukan dan aspek progresif (progressive aspect). Dalam hal ini Richards (1992:22) menyatakan bahwa aspek adalah kategori gramatikal yang menerangkan bagaimana suatu kejadian, kegiatan atau peristiwa itu digambarkan oleh sebuah kata kerjanya, misalnya apakah kata kerja itu menggambarkan kejadiannya sedang berlangsung (progress), kegiatannya sebagai suatu kebiasaan (habitual), peristiwanya selalu berulang (repeated) atau hanya sebentar saja (momentary). Aspek itu sendiri biasanya ditandai oleh awalan (prefixes) atau akhiran (suffixes) atau perubahan lainnya pada kata kerja atau ditunjukan dengan kata kerja-kata kerja bantu (auxiliary verbs).

Bahasa Inggris hanya memiliki dua aspek, yaitu progressive (continuous) dan perfect. Progresif adalah aspek gramatikal yang menunjukkan aksi yang belum lengkap atau masih berlangung. Aspek progresif dalam bahasa Inggris ini dibentuk dari kata kerja bantu BE dan bentuk kata kerja –ing misalnya dalam kalimat: She is wearing contact lenses dan Thee were crossing the road when the accident occured. Aspek progresif ini dapat divariasikan dengan beberapa tenses, misalnya dengan present menjadi present continuous tense seperti dalam kalimat Today I am wearing glasses; dengan past tense menjadi past continuous tense seperti dalam kalimat I was wearing glasses; dengan present tense dan aspek perfect menjadi present perfect continuous tense seperti dalam I have been wearing glasses for six years. (ibid:294).

Yang berikutnya adalah aspek perfektif (perfect). Perfektif (perfect) adalah aspek gramatikal yang menunjukkan hubungan antara satu kegiatan; peristiwa atau waktu dengan kegiatan; peristiwa atau waktu yang lainnya. Dalam bahasa Inggris aspek perfektif ini dibentuk dari kata kerja bantu (auxiliary verb) HAVE dan past participle. Contohnya: I have finished. She has always loved animals. Kata kerja bantu HAVE itu dapat divariasikan dengan present tense menjadi present perfect tense seperti dalam kalimat They have eaten; dengan past tense menjadi past perfect tense seperti dalam kalimat They had finished; dan future tense, walaupun dalam bahasa Inggris jarang digunakan, seperti dalam kalimat They will have finished (ibid:269).

Bagaimana jika semua kalimat bahasa Inggris yang memiliki konsep aspek progresif dan aspek perfektif itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia? Nuansa makna aspek-aspek dalam bahasa Inggris tersebut baik ada keterangan waktu (time signal; adverb of time) atau tidak, dapat diterjemahkan dengan bantuan leksikal, misalnya kata bantu ‘sedang’, ‘masih’, ‘telah (tuntas)’, ‘dulu telah (tuntas)’. Perhatikan contoh berikut:
1. Tsu : I am writing a letter.
    Tsa : Saya sedang menulis sepucuk surat.
2. Tsu : I was writing a letter yesterday.
    Tsa : Saya sedang menulis sepucuk surat kemarin.
3. Tsu : I have been writing a letter for two hours.
    Tsa : Saya masih menulis sepucuk surat selama dua jam.
4. Tsu : I have written a letter.
    Tsa 1: Saya telah menulis sepucuk surat selama dua jam.
    Tsa 2: Saya tuntas menulis sepucuk surat selama dua jam.
5. Tsu : I had written a letter.
    Tsa : Saya dulu telah (tuntas) menulis sepucuk surat.
    (Sebaiknya kalimat seperti ini harus disertai anak kalimat yang berkata depan before atau before clause.)

3) Masalah genus

Masalah yang dapat dikategorikan sulit untuk diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahas Indonesia adalah kategori genus (gender) atau jenis kelamin. Kategori genus Masculine (M) dan Feminine (F) bahasa Inggris berbeda dengan kategori jenis kelamin dalam bahasa Indonesia. Bahasa Inggris memiliki beberapa indikator genus dengan pola yang beragam misalnya:
1. zero indicator: hero (M); suffix –ine: heroine (F)
2. suffix –or: aviator (M); suffix –rix: aviatrix (F)
3. zero indicator: tiger (M); suffix –ess: tigress (F)
4. billy goat (M); nanny goat (F)
5. buck rabbit (M); doe rabbit (F)
6. jack (M); jack ass (F)
7. jenny (M); jenny ass (F)
8. he bear (M); she bear (F)
9. tom cat (M); tabby cat (F)

Jika kategori jenis kelamin ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka banyak pilihan indikator jenis kelamin yang dapat digunakan, misalnya –wan dan –wati; -a– dan –i–; pria–wanita; jantan–betina. Jadi semua kata dan frase di atas dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi:
a. hero-herione → ’pahlawan pria’– ’pahlawan wanita’
b. aviator-aviatrix → ’pilot pria’ – ’pilot wanita’
c. tiger-tigress → ’harimau jantan’ – ’harimau betina’
d. billy goat-nanny goat → ’kambing jantan’ – ’kambing betina’
e. jack ass-jenny ass → ’keledai jantan’ – ’keledai betina’
f. buck rabbit-doe rabbit → ’kelinci jantan’ – ’kelinci betina’
g. he bear-she bear → ’beruang jantan’ – ’berung betina’
h. tom cat-tabby cat → ’kucing jantan’ –’kucing betina’

b. Kategori Leksikal

Masalah-masalah penerjemahan yang berkaitan dengan kategori leksikal menyangkut aneka makna, diferensial dan nondiferensial, dan medan semantis (Moentaha, 2006-13-14).

1) Aneka Makna

Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia memiliki aneka makna (polysemous meaning) yang berbeda, sehingga hal tersebut kadang-kadang menyulitkan penerjemah untuk memilih kata yang tepat. Berikut adalah contoh aneka makna dalam bahasa Inggris dan kasus penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Kata house dalam bahasa Inggris memiliki arti ’rumah’ dalam bahasa Indonesia karena merujuk kepada ’gedung tempat tinggal’ (dwelling), sedangkan kata house itu sendiri mempunyai aneka makna yang lain, yaitu ’dinasti’ (dynasty) seperti the House of Smiths yang berarti ’Dinasti Smith’. Di samping itu kata house berarti ’teater’ atau ’para penonton di gedung pertunjukan’ (an appreciative house), ‘bisnis’ (a publishing house), dan lain-lain.
Begitu pula dalam bahasa Indonesia, kata ’rumah’ itu tidak mempunyai hubungan dengan kata house, namun memiliki aneka makna, misalnya ’rumah sakit’ (hospital), ’rumah sakit jiwa (lunatic asylum), ’rumah makan’ (restaurant), ’rumah yatim piatu’ (orphanage), dan lain-lain.
Jadi dalam hal ini seorang penerjemah harus pandai menentukan kategori leksikal dalam proses penerjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.

2) Diferensial/Nondiferensial

Yang dimaksud dengan nondiferensial adalah satu kata yang mengandung pengertian lebih luas, misalnya kata rice mengandung pengertian lebih dari satu dalam bahasa Indonesia, sehingga dapat dipadankan dengan kata ’padi’, ’beras’, atau ’nasi’ bergantung makna gramatikalnya dna konteks kalimatnya. Misalnya dalam kalimat Every day we eat rice. Kata rice di dalam kalimat itu berpadanan dengan ’nasi’, sedangkan dalam kalimat Yesterday I bought rice in the grocery shop. Kata rice dalam kalimat ini berarti ’beras’, adapun dalam kalimat They work in the rice field from sunup to sundown. Dalam kalimat tersebut kata rice bermakna ‘padi’ (rice field=ladang padi atau sawah).

Sebaliknya diferensial adalah satu kata yang mengandung pengertian sempit. Seperti contoh di atas, kata ’padi’, ’nasi’, dan ’beras’ itu sendiri termasuk ke dalam kata yang diferensial karena mengandung pengertian sempit, artinya sudah tidak bisa dicarikan padanannya lagi secara luas, sehingga tatkala akan diterjemahkan, penerjemah harus memberi gambaran atau catatan kaki tentang kata-kata tersebut, karena sudah memiliki makna yang lebih spesifik sesuai dengan konteks sosio-kultural tertentu. Kata ’kaki’ dalam bahasa Indonesia mempunyai arti luas jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Kata tersebut bisa mengandung pengertian leg yang menyangkut ’kursi’ (the legs of a chair= kaki-kaki kursi), kemudian berarti foot yang menyangkut ’gunung’ (the foot of a mountain=kaki gunung). Sebaliknya, kata leg dan foot itu sendiri memiliki pengertian yang sempit, artinya kedua kata tersebut sudah dalam kategori kata-kata yang spesifik atau memiliki pengertian yang sempit.

3) Medan Semantis

Medan semantis (semantic field atau lexical field) termasuk ke kategori leksikal yang menjadi masalah linguistik dalam penerjemahan. Richards (1992:211) memberi batasan bahwa medan semantis adalah pengorganisasian kata-kata yang saling berkaitan dalam sebuah sistem yang saling berhubungan. Contohnya kata-kata dalam kelompok kinship (kekerabatan) seperti father, mother, brother, sister, uncle, dan aunt termasuk ke dalam medan semantis karena ciri-ciri relevan menyatakan hubungan keturunan atau anggota keluarga. Di samping itu Moentaha (2006:257) menambahkan bahwa medan semantis ialah kelompok kata yang maknanya mengandung komponen semantis umum. Misalnya, medan semantis yang menyatakan waktu: hari, minggu, bulan, tahun; yang menyatakan ruang: pekarangan, kamar, jalanan; yang menyatakan sensasi emosional: sedih, gembira; yang menyatakan sensasi jasmani: sakit kepala, sakit pinggang, dan lain-lain.

Pemahaman terhadap medan semantis ini sangat penting bagi para penerjemah karena ia harus menerjemahkan suatu kata dari Bsu itu ke dalam Bsa yang memiliki kategori medan semantis yang sama, misalnya kalimat yang mengandung kata kerja persepsi harus diterjemahkan ke dalam kalimat yang memiliki kata kerja persepsi yang sama, seperti She hears a song diterjemahkan menjadi ’Dia (perempuan) mendengar sebuah lagu’. Kalimat persepsional dalam Tsa seyogyanya diterjemahkan ke dalam Tsa dengan kalimat yang menyatakan medan semantis yang sama.

4. Masalah-masalah Stilistik dalam Penerjemahan

Menurut KBBI (2005:1231), tuturan adalah sesuatu yang dituturkan; ucapan; ujaran (cerita) dan sebagainya. Dalam istilah linguistik, tuturan itu dikenal dengan istilah utterance. Tuturan adalah sebuah kata atau sederetan kata yang diucapkan. Pada tingkatan yang paling sederhana, ucapan kata ”Oh” ketika seseorang menyentuh sebuah benda yang panas, sudah dapat dikatakan sebuah tuturan, walaupun tuturan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengomunikasikan makna kepada lawan bicara (http:www.rdillman.com/HFCL/TUTOR/Relation/relate2.html).

Richards et al (1992:395) mengemukakan bahwa tuturan adalah apa saja yang diucapkan oleh seseorang sebelum atau sesudah orang lain berbicara. Berikut adalah contoh dari tuturan dalam bentuk dialog:
1) tuturan satu kata (a word)
A: Have you done your homework?
B: Yeah.
Tuturan yang ke-1 ini termasuk ke dalam tuturan biasa. Jika diterjemahkan, maka akan menjadi:
A: Apakah kamu sudah mengerjakan PR-mu?
B: Ya, sudah.

2) tuturan satu kalimat (one sentence)
A: What’s the time?
B: It’s half past five.
Tuturan yang ke-2 ini pun termasuk ke dalam tuturan biasa. Jika diterjemahkan, maka hasilnya:
A: Pukul berapa sekarang?
B: Pukul 05:30.

3) tuturan lebih dari satu kalimat (more than one sentence)
A: Look, I’m really fed up. I’ve told you several times to wash
your hands before a meal. Why don’t you do as you’re told?
B: But Mum, listen ...

Tuturan yang ke-3 ini termasuk ke dalam idiomatik karena mengandung unsur idiom yaitu I’m really fed up yang artinya ‘Saya sudah muak’. To be fed up termasuk ke dalam logat moderen (slang) yang terkadang bernada kasar. Tuturan idiomatik to be fed up itu sendiri dapat bermakna ‘mual’, ‘muak’, dan ‘bosan’ (Echols, J.M., dan Shadily, H. 2001:236). Akan tetapi sebenarnya kata Look itu sendiri dapat bermakna idiomatik, yaitu ‘Coba perhatikan’ atau ‘Begini’ bukan ‘Lihatlah’. Sehingga jika tuturan ke-3 tersebut diterjemahkan, maka akan menjadi:
A: Coba perhatikan, Aku sudah muak. Sudah aku katakan
beberapa kali agar kamu mencuci tangan sebelum makan.
Mengapa kamu tidak nurut?
B: Tapi Bu, dengarlah ...

Bagaimana dengan tuturan-tuturan idiomatik, metaforik, dan kiasan lainnnya jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia? Tentunya tuturan-tuturan itu sangat sulit dicarikan padanannya.
Sebenarnya sebuah tuturan itu memiliki makna tuturan (utterance meaning) yang bergantung pada maksud si penutur dan situasi dan konteks tuturan. Contohnya, sebuah tuturan kalimat My watch has stopped again memiliki beberapa makna sebagai berikut:
1. I can’t tell you the time.
2. This is the reason for my being late.
3. I really have to get it repaired.
4. What about buying me another one?

a. Penerjemahan Tuturan Metaforik

Penerjemahan tuturan metaforik sangat berbeda dengan penerjemahan tuturan biasa. Tuturan metaforik (metaphorical utterance) adalah tuturan yang mengandung gaya bahasa metafora yang dianggap sebagai bentuk bahasa sastra yang rumit dan sulit untuk diterjemahkan. Tuturan metaforik mengandung ranah sasaran (target domain), yaitu konsep yang digambarkan atau sebagai bagian awal dan ranah sumber (source domain), yaitu konsep perbandingan atau analoginya. Menurut Richards dalam Saeed (1997:302-303), konsep pertama disebut tenor sedangkan yang kedua disebut vehicle. Misalnya dalam tuturan Computer is a human being, kata computer adalah tenor sedangkan a human being adalah vehicle. Maka dari itu makna tuturannya akan berbeda dengan makna kalimat biasa. Bagaimana bisa sebuah komputer itu dianalogikan sebagai seorang manusia. Tuturan ini perlu pemahaman dan penghayatan yang cukup dalam karena makna suatu tuturan metaforik sangat dipengaruhi oleh ranah pengalaman penuturnya, sehingga seorang penerjemah harus mampu menerjemahkannya sesuai dengan ranah yang dipahami oleh pendengar atau pembaca teks terjemahannya.

Tuturan berikut adalah sebuah tuturan metaforik: ”Life is a journey.” (Lakoff dan Turner dalam Saeed (1997:306). Tuturan metaforik tersebut mengandung banyak makna sebagai berikut:
1. The person leading a life is a traveler.
2. His purposes are destinations.
3. The means for achieving purposes are routes.
4. Difficulties in life are impediments to travel.
5. Counsellors are guides.
6. Progress is the distance traveled.
7. Things you gauge your progress by are landmarks.
8. Material resources and talents are provisions.

Dari makna-makna tersebut di atas, tuturan metaforik “Life is a journey” dapat diterjemahkan menjadi:
1. Hidup itu kembara.
2. Hidup itu kelana.
3. Hidup adalah sebuah pengembaraan yang panjang.
4. Pengalaman adalah guru yang paling baik.
5. Hidup adalah safari tiada henti.

Holman dan Harmon (1992:287) menyatakan bahwa metafora adalah analogi yang membandingkan antara satu objek dengan objek yang lainnya secara langsung atau dengan kata lain adalah majas yang mengungkapkan ungkapan secara langsung. Misalnya She is my heart adalah contoh dari gaya bahasa metafora karena seseorang (she) dalam kalimat di atas disamakan dengan heart = jantung. Bagaimana bisa seseorang sebagai manusia disamakan dengan jantung. Hal semacam ini membutuhkan kepiawaian seorang penerjemah untuk mencari padanan majas tersebut dengan tepat dalam Bsa. Ungkapan tersebut dapat diterjemahkan menjadi ’Dia belahan jantung hatiku.’ Perhatikan contoh-contoh di bawah ini.
1. Tsu : He is a book worm.
    Tsa : Dia (laki-laki) seorang kutu buku.
2. Tsu : That man is a regular ass.
    Tsa : Orang itu bodoh sekali
3. Tsu : She is a beautiful flower in the village.
    Tsa : Dia (perempuan) seorang bunga desa. (=gadis
            cantik)
4. Tsa : Hamzah is a lion of desert.
    Tsa : Hamzah adalah singa padang pasir. (=seorang
            pemberani)

b. Penerjemahan Tuturan Idiomatik

Yang dimaksud dengan idiom dalam hal ini adalah sekelompok kata yang maknanya tidak dapat dicari dari makna kata-kata unsurnya. Berikut beberapa pendapat dari para pakar linguistik yang memberi komentar terhadap pengertian idiom.

Crystal (1985:152) menyatakan bahwa idiom atau idiomatik adalah istilah yang digunakan dalam grammar dan lexicology yang merujuk kepada serangkaian kata yang terbatas secara semantis dan sintaksis, sehingga hanya berfungsi sebagai satuan tunggal (single unit). Misalnya ungkapan It’s raining cat and dogs tidak bisa diterjemahkan satu persatu karena ungkapan tersebut adalah ungkapan idiomatik (idiomatic expression) yang harus diterjemahkan secara idiomatik juga, sehingga terjemahannya menjadi ’Hujan lebat’.

Frye et al (1985:234) berpendapat bahwa idiom adalah ungkapan khusus yang tidak mudah untuk diterjemahkan. Misalnya untuk jawaban ungkapan ”Thanks”, seseorang menjawab dengan variasi jawaban, seperti ”Please, don’t mention it,” ”Not at all,” ”It was a pleasure,” atau “Forget it.” Ungkapan-ungkapan itu tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kata-demi-kata tetapi cukup dengan idiomatik bahasa Indonesia yang sudah lazim dan semuanya dapat diterjemahkan menjadi ‘Terima kasih kembali’ tidak yang lain, misalnya ‘Jangan dipikirkan’, ‘Nggak apa-apa’, ‘Ini suatu hal yang menyenangkan’, ‘Lupakan saja’, dan lain-lain.

Richards (1992:172) menambahkan bahwa idiom adalah sebuah ungkapan yang berfungsi sebagai satuan tunggal dan maknanya tidak bisa dipecah-pecah, contohnya She washed her hands of the matter = She refused to have anything more to do with the matter. Contoh lain ungkapan May I wash my hands? bukan berarti bahwa seseorang itu meminta ijin untuk mencuci kedua belah tangannya tetapi itu adalah ungkapan idiomatik yang biasa diucapkan seorang siswa, misalnya, yang meminta ijin kepada guru untuk pergi ke ‘belakang’ (toilet). Jadi ungkapan idiomatik itu diterjemahkan menjadi ‘Bolehkan saya ke belakang?’.

Penerjemahan tuturan idiomatik (idiomatic expressions), sama halnya dengan penerjemahan tuturan metaforik, membutuhkan kecerdasan dan pengalaman untuk mencari padanan yang tepat karena tuturan idiomatik itu kadang tidak masuk akal dan sulit untuk dipahami. Tuturan idiomatik ini dapat berbentuk sebuah kata atau kelompok kata. Jika tuturan idiomatik itu dipahami secara harfiah, maka maknanya akan biasa-biasa saja. Padahal seorang penutur menggunakan ungkapan idiomatik itu tiada lain adalah untuk mencoba membangun sebuah makna baru yang berada di balik makna harfiah. Bedakan dua kalimat berikut yang menggunakan kata “hand” (http:www.andeanwinds.com):
1. Bill has two hands, a right hand and a left hand.
2. Bill is an old hand in the store.

Kalimat kesatu adalah kalimat harfiah (literal sentence) yang artinya sesuai dengan makna yang sebenarnya yaitu: ’Bill mempunyai dua buah tangan, tangan kiri dan tangan kanan. Bagaimana dengan kalimat kedua? Kalimat tersebut adalah kalimat idiomatik. Tuturan tersebut bermakna ‘Bill adalah orang yang mempunyai banyak pengalaman di toko itu’ atau ‘Bill telah banyak makan garam di toko tersebut’. Jadi frase ‘an old hand’ itu bermakna ‘berpengalaman’ bukan ‘seorang tangan tua’. Itulah sulitnya memahami tuturan idiomatik sehingga penerjemah harus hati-hati dalam menerjemahkannya.

c. Penerjemahan Tuturan Kiasan

Tamsil atau kiasan (simile) adalah majas yang mengungkapkan ungkapan secara tidak langsung atau perbandingan dua objek yang berbeda sama sekali dengan dasar kemiripan dalam satu hal (Holman dan Harmon, 1995:445). Metafora memiliki ciri perbandingan dengan menggunakan kata kerja bantu BE saja, sedangkan kiasan (simile) ini menggunakan kata-kata penghubung like, as, such as, as if, seem. Misalnya, My house is like your house (=’Rumahku mirip rumahmu’).

Moentaha (2006:190) memberi tekanan yang berbeda dengan pandapat Holman dan Harmon (1995). Dia berpendapat bahwa tamsil atau kiasan ini adalah perbandingan antara dua objek yang berlainan kelas. Simile, sebagai sarana stilistis, digunakan untuk menekankan cirri-ciri tertentu dari objek yang satu dibandingkan dengan ciri-ciri tertentu dari objek yang lain yang berbeda kelasnya. Sehingga jika ada kiasan semacam berikut: The boy seems to be as clever as his mother (‘Anak lelaki itu sepandai ibunya), bukanlah tamsil atau kiasan (simile) tetapi perbandingan biasa (ordinary comparison) karena boy dan mother berasal dari kelas yang sama. Menurut dia, contoh simile yang tepat adalah He is as brave as a lion yang diterjemahkan menjadi ‘Dia seberani banteng’ atau ‘Dia seberani pendekar’. Kata ‘banteng’ dan ‘pendekar’ sangat cocok di telinga orang Indonesia dari pada kata ‘singa’, karena ‘singa’ adalah binatang buas yang kesannya kurang pas. Jadi perbandingan itu sendiri kadangkala harus ditujukan atau disesuaikan dengan konteks sosio-kultural pengguna Bsa. Perhatikan contoh lainnya di bawah ini.
Tsu : He is a sly as a fox.
Tsa : Dia secerdik kancil.
Dari ungkapan di atas dianalisis bahwa pembaca Indonesia mungkin tidak kenal dengan kecerdikan ‘rubah’ (fox), tetapi mereka kenal dengan kecerdikan ‘kancil’ maka wajarlah jika tidak diterjemahkan menjadi ‘Dia secerdik rubah’.

d. Penerjemahan Personifikasi (Personifications)

Frye (1985:345) mengemukakan pendapat bahwa personifikasi (personification) adalah teknik memperlakukan segala sesuatu yang abstrak, benda atau binatang seperti manusia. Misalnya nama-nama binatang dalam kartun seperti Mickey Mouse dan Donald Duck dipersonifikasikan sebagai manusia. Misalnya Mickey Mouse says “I love you” to Minie Mouse dapat diterjemahkan menjadi ‘Si Tikus Miki’ mengatakan “Aku cinta padamu” pada Si Tikus Minie’. Bagaimana bisa seekor tikus mengatakan cinta, karena ‘mengatakan’ adalah pekerjaan manusia bukan tikus. Contoh lain dalam bahasa Indonesia adalah ‘Saat kulihat rembulan, dia tersenyum kepadaku seakan-akan aku merayunya’. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi When I saw the moon, she smiled at me as if I flattered her.

e. Penerjemahan Aliterasi

Aliterasi adalah sarana stilistis yang berarti pengulangan bunyi konsonan yang sama di permulaan kata yang membentuk rangkaian kata yang mapan, biasanya berpasangan (Moentaha, 2006:182). Alirerasi ini sering muncul dalam karya sastra baik puisi maupun prosa atau sering muncul dalam headline surat jabar sebagai ungkapan daya tarik bagi pembaca seperti Summer of Support, Quips and Quirks, Frenzy at Franconia, Face the Future. Bagaimana kasus aliterasi ini jika diterjemahkan?

Seorang penerjemah harus mampu menerjemahkan aliterasi menjadi aliterasi juga agar rasa indah dalam hasil terjemahannya (Tsa) sama dengan nilai estetika dalam Tsu, sekalipun ia harus mencari kata-kata yang sangat jauh padanannya atau bahkan tidak sepadan asalkan nuansa aliterasinya muncul dalam produk terjemahannya. Perhatikan contoh berikut:
1. Tsu : ...between promise and performance.
Tsa 1 : ...antara janji dan pelaksanaannya. (tidak aliterasi)
Tsa 2 : ...antara perkataan dan perbuatan. (beraliterasi)

Jika dianalisis, Tsa 1 tidak mengejar aliterasi sedangkan Tsa 2 mengejar padanan aliterasi. Terjemahan kata promise menjadi ’perkataan’ tampaknya secara makna pun memiliki kedekatan karena biasanya kalau ”janji” itu sama dengan ”ucapan” atau ”perkataan” saja dalam konteks bahasa Indonesia, demikian juga terjemahan kata performance menjadi ’perbuatan’ tampaknya tidak terlalu menyimpang karena keduanya merujuk kepada suatu aksi kinerja atau perbuatan.

Berikut adalah beberapa contoh aliterasi menurut Richard Nordguist dalam http://grammar.about.com/od/terms/g/alliteration.htm yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
2. Tsu: Peter Piper picked a peck of pickled peppers.
Tsa: Peter Piper pungut satu patukan buah pohon perdu pedas yang pakai pengawet.
3. Tsu: Sweet smell of success
Tsa: Semerbak sedap suasana sukses
4. Tsu: Papa, potatoes, poultry, prunes, and prims, are all very good words for the lips: especially prunes and
prisms (Charles Dickens, Little Dorrit)
Tsa: Papih, perkedel, unggas petelur dan pedaging, prém
dan prisma, adalah kata-kata yang sangat akrab di
bibir; terutama prém dan prisma.
5. Tsu: The mass of men lead lives of quiet desperation.
Tsa: Banyak masyarakat manusia menjalani hidup penuh
derita.
6. Tsu: He bravely breach’d his boiling bloody breast.
Tsa: Dengan dorongan dari dalam dirinya, dia dobrak
dinding dadanya yang penuh didih darah.

f. Penerjemahan Asonansi

Menurut Frye, et al (1985:52), asonansi adalah pengulangan bunyi vokal tengah, misalnya pada kata-kata fight dan hive; pan dan make. Biasaya asonansi sebagai tekanan suku kata secara efektif lebih banyak ditemukan pada sebuah baris puisi. Selanjutnya Harris (2005) dalam http://www.virtualsalt.com/rhetoric.htm mengemukakan bahwa asonansi adalah pengulangan bunyi vokal yang sama secara berulang-ulang dalam kata-kata yang berdekatan yang mengandung konsonan-konsonan berbeda. Sedangkan menurut Jordan (2008) dalam http:www.associatedcontent.com, asonansi adalah pengulangan bunyi vokal dalam kata-kata non-rima. Misalnya, Edgar Allan Poe dalam karyanya ”The Bells”, menggunakan asonansi vokal ”[e:]”. ’Hear the mellow wedding bells.’ dan Robert Louis Stevenson menggunakan asonansi vokal [ž] dalam ‘The crumbling thunder of seas’. Apa perbedaanya dengan rima? Rima (Rhyme) adalah sebuah efek yang diciptakan dengan cara memadukan atau mencocokkan bunyi-bunyi pada akhir kata-kata tertentu, misalnya efek bunyi pada kata-kata cat, fat; defeat, repeat; better, setter; clerical, spherical; cat, cot, dan hope, cup.

Dalam rima yang dikejar adalah keindahan bunyi. Perhatikan pada contoh cat, cot dan hope, cup, di sana bunyi vocal yang sama, namun kata-kata tersebut hanya mengejar bunyi akhir (konsonan) sama (Frye, et al, 1985:396). Jadi jelas asonansi dan rima itu berbeda.

Berikut adalah beberapa contoh asonansi yang diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Assonance.
1. ‘And murmuring of innumerable bees.’- Alfred Lord Tennyson, The Princess VII.203
2. ‘The solitude which suits abstruser musings.’ –Samuel Taylor Coleridge
3. ‘The Scurrying furred small friars squeal in the dowse.’ –Dylan Thomas
4. ‘It’s hot and it’s monotonous.’ –Stepehen Sondhein, Sunday in the Park with George, It’s Hot Up Here
5. ‘With the sound, with the sound, with the sound of the ground.’ – David Bwie, “Law (Earthlings on Fire)”

Permasalahannya adalah bagaimana asonansi-asonansi tersebut diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Tentunya penerjemahan asonansi ini tidaklah mudah karena penerjemah harus mampu mencari padanan makna dari tuturan yang berasonansi tersebut dan sekaligus mencari padanan bunyi yang serasi, sehingga diharapkan tuturan dalam Tsu yang berasonansi dapat diterjemahkan ke dalam tuturan Tsa yang berasonansi pula.

Beberapa contoh tuturan yang berasonansi itu dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
1. Tsu: Hear the mellow wedding bells.
    Tsu: Dengarlah dayuan gamelan kawin itu.
2. Tsu: The crumbling thunder of seas.
    Tsa: Petir laut yang pecah itu.
3. Tsu: It’s hot and it’s monotonous.
    Tsa: Gerah dan jemu.
4. Tsu: With the sound, with the sound, with the sound of the ground.
    Tsa: Bahana, bahana, bahana massa.
5. Tsu: Poetry is old, ancient, goes back far. It is among the oldest of living thing. So old it is that no man
           knows how and why the first poems came.
    Tsa: Sajak itu karya lama, jaman dahulu kala, datang jauhdari kala lama. Diantara jaman purbakala. 
           Maka banyak manusia yang tak tahu bagaimana dan mengapa sajak itu lahir.

g. Penerjemahan Verba IlLokusi (Illocutionary Verbs)

Yang dimaksud dengan verba ilokusi (Illocutionary verbs) adalah verba tindak-ujar atau tindak-tutur, yaitu verba yang berada pada pemandu dialog (dialog guide) dalam kalimat langsung (direct speech). Perhatikan contoh yang dikemukakan oleh Maclin (2001:139).
”We want to go,” the student said.

Verba yang ada dalam pemnadu dialog yaitu verba ‘said’ disebu verba ilokusi. Verba tindak tutur tersebut sangat menarik untuk diteliti karena setiap penerjemah menerjemahkannya berbeda beda sesuai dengan pilihan padanan yang tepat. Misalnya verba tindak-ujar ‘said’ itu mungkin diterjemahkan ‘mengatakan’, ‘menuturkan’, ‘menjawab’, ‘mengungkapkan’, dan lain-lain. Namun yang penting bahwa verba tersebut diterjemahkan sesuai dengan kelompok verba ilokusinya, yaitu sebagai verba tindak-ujar say (mengatakan) yang berkategori expressive. Verba ilokusi dalam kalimat di atas dapat diterjemahkan ke dalam variasi terjemahan sebagaia berikut:
1. Tsu : ”We want to go,” the student said.
Tsa : “Kami ingin pergi,” kata siswa itu.
2. Tsu : ”We want to go,” the student said.
Tsa : “Kami ingin pergi,” tutur siswa itu.
3. Tsu : ”We want to go,” the student said.
Tsa : “Kami ingin pergi,” ungkap siswa itu.
4. Tsu : ”We want to go,” the student said.
Tsa : “Kami ingin pergi,” siswa itu menjawab.

Leech (1993:323) memberi contoh verba-verba yang termasuk ke dalam verba ilokusi diantaranya: report (melaporkan), announce (mengumumkan), predict (meramalkan), admit (mengakui), opine (berpendapat), ask (meminta), reprimand (menegur), request (meminta), suggestion (menganjurkan), order (menyuruh), propose(mengusulkan ), express (mengungkapkan), congratulate (mengucapkan terima kasih), dan exhort (mendesak).

h. Penerjemahan Tuturan Ilokusi (Illocutionary Utterances)

Tuturan ilokusi (Illocutionary Utterances) adalah bagian kalimat yang menempati posisi kutipan (quotation). Berikut adalah contoh dari tuturan atau ujaran ilokusi.

An illocutionary utterance is spoken with intention of making contact with a listener. Illocutionary utterances are usually sentences that contain propositional utterances, that is, they refer to things in the word—but it is their intentional that is of the most importance. http://rdillman.com/HFCL/TUTOR/Relation/relate2.html)

Dari kutipan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tuturan ilokusi itu diucapkan dengan tujuan menghubungi pendengar. Tuturan ilokusi biasanya berupa kalimat yang mengandung tuturan proposisi, yaitu, proposisi yang merujuk pada segala sesuatu yang dianggap paling penting di dunia ini. Dalam hal ini tujuan penutur itu sangat memiliki peranan penting dan sangat menentukan terhadap makna tuturan yang dimaksud.
Berikut adalah contohnya:
Tsu : “I am tired.”
Tsa : “Saya lelah.”

Tuturan apa yang sebenarnya dituturkan oleh penutur dalam contoh kalimat di atas? Berdasar pada tujuan si penutur, tuturan tersebut mungkin mengandung maksud sebagai berikut:
Berdasarkan konteksnya, tuturan ”I am tired” tersebut mengandung beberapa kemungkinan tujuan untuk:
1) Menjawab seorang teman yang baru saja menanyakan apa yang saya rasakan. Dalam konteks ini tuturan ”I am tired” mengandung makna ”I am fatigued” dan berbentuk pernyataan (statement).
2) Menolak dengan sopan seseorang yang saya coba hindari karena dia mengajak apakah saya bersedia pergi dansa bersamanya nanti malam. . Dalam konteks ini tuturan ”I am tired” mengandung makna ”I’d rather not” dan berbentuk pernyataan (statement).
3) Meminta suami saya yang ketika itu sedang menontong TV bareng untuk mematikan TV dan segara pergi tidur. Dalam konteks ini tuturan ”I am tired” mengandung makna ”Could we turn this off?” dan berbentuk pertanyaan atau permintaan (question dan request).
4) Menyuruh anak saya yang masih kecil untuk segara tidur karena sudah larut malam namun dia memintaku pergi nonton film. Dalam konteks ini tuturan ”I am tired” mengandung makna ”No, go to bed” dan berbentuk perintah (command).
5) Dari gambaran tersebut di atas, penerjemahan tuturan ilokusi itu sangat menarik untuk dikaji dalam rangka meneliti bagaimana para penerjemah mempersepsikan pemahaman mereka dalam wujud terjemahan tuturan ilokusi.

i. Penerjemahan Nama Diri (Proper Names)

Menurut Crystal (1985:248), nama diri (proper nouns) adalah nama diri dari seseorang, tempat dan lain-lain, misalnya: Alice, Bill, Jakarta dan London. Dalam kaitannya dengan penerjemahan, nama diri ini jarang atau tidak pernah diterjemahkan karena penerjemah ingin mempertahankan aspek sosiobudaya Bsu, tidak ada padanan pada Bsa, Bsa tidak memiliki konsep transliterasi, dibiarkan karena penutur Bsa mudah untuk menuturkan nama diri yang dimaksud dengan ucapan yang sama. Dalam hal tidak terjadi penerjemahan (non-translation). Contohnya adalah sebuah kata nama diri dalam bahasa Inggris ”Alice” tidak diterjemahkan atau tidak ditransliterasi ke dalam Bsa tertentu, tetapi hanya disesuaikan saja dalam cara pengucapannya. Orang Francis dan Jerman tidak mengubah nama diri tersebut ke dalam bentuk transliterasi yang lain tetapi mereka mengucapkannya menjadi [A’li:s], serta orang Italia mengucapkannya [a’litche]. (Nord, 2003:182 dalam http://www.erudit.org/revue/meta/2003).

Dalam jurnal yang sama Nord (2003:183) menjelaskan bahwa nama diri ’Alice’ itu diterjemahkan secara berbeda-beda menurut bentuk transliterasi masing-masing penutur Bsu. Misalnya, dalam bahasa Spanyol menjadi ’Alicia’, dalam bahasa Finlandia mengalami adaptasi kultural menjadi ’Liisa’, dan dalam bahasa Brazilia menjadi ’Marina’.

Inilah yang menjadi daya tarik mengapa penerjemahan proper names ini perlu diteliti.

j. Penerjemahan Bunyi Tiruan (Onomatopoeia)

Frye (1985:326) mengatakan bahwa tiruan bunyi (onomatopoeia) adalah penggunaan kata yang dibentuk atau diucapkan menyerupai bunyi sesuatu, misalnya kata buzz untuk tiruan bunyi getaran sayap serangga, kata crack untuk tiruan bunyi benda yang patah, kata smack untuk tiruan bunyi pukulan, kata whinny untuk tiruan bunyi ketawa, dan lain-lain.

Menurut (Richards, 1992:255), onomatopoeia adalah peniruan bunyi suara alam dengan kata-kata atau kelompok kata, seperti moo untuk suara sapi, baa untuk suara kambing atau domba, cuckoo atau cuculus canorus (bahasa Latin) untuk suara ayam. Kalau untuk ayam jantan dalam bahasa Inggris tiruan bunyinya cock-a-doodle-do, dalam bahasa Jepang tiruan bunyinya kokekokko. Bagaimana jika semua tiruan bunyi itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia? Tentu saja penerjemah harus mencari padanan tiruan bunyi yang sesuai dengan sosio-kultural orang Indonesia, misalnya:
1. moo (English); mooh (Indonesian)
2. ging-dong (English); ning-nong (Indonesian)
3. meow (English); meong (Indonesian)
4. cock-a-doodle-do (English); kukuruyuk (Indonesian)
5. baa (English); béé (Indonesian)


k. Penerjemahan Eufemisme

Eufeumisme (Eufeumism) adalah pengungkapan kata-kata yang dianggap tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus (Frye, 1985:179). Dia memberi contoh untuk frase passed away (‘wafat’) atau gone to the great beyond (‘meninggal dunia’) untuk kata died (‘mati’) dan frase earthly remain untuk kata corpse (‘mayat’). Sehingga untuk kalimat His grandpa passed away bukan His grandpa died sehingga diterjemahkan pun harus disesuaikan secara sopan atau pantas menjadi dengan ‘Kakeknya meninggal dunia’ atau ‘Kakeknya wafat’ bukan “Kakeknya mati’, karena kata died atau ‘mati’ hanya pantas untuk binatang. MiIsalnya The dog died diterjemahkan menjadi ‘Anjing itu mati’.

Moentaha (2006:187) menambahkan bahwa eufeumisme adalah ungakapan yang disampaikan secara halus dan sopan, misalnya dalam bahasa Inggris ada ungkapan Not the most modest of men yang bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘Orang yang kesederhanaannya tidak berlimpah ruah’. Jika diungkapkan secara kasar, bisa saja ungkapan itu diterjemahkan menjadi ‘orang rakus’.

l. Penerjemahan Peribahasa

Holman dan Harmon (1995:380) mengatakan bahwa peribahasa (proverbs) adalah perkataan yang mengungkapkan suatu pengakuan kebenaran tentang kehidupan. Sedangkan menurut KBBI (2005:858), peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu atau ungkapan atau kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku.

Peribahasa ini banyak yang berupa metafora, ritme bahasa maupun aliterasi. Penerjemahan peribahasa ini membutuhkan kecakapan penerjemah untuk mencari padanan peribahasa dalam Bsa yang sesuai dengan konteks sosio-kulturalnya. Jadi terjemahan peribahasa dalam Tsa biasanya sangat jauh berbeda bentuknya dari Tsu.

Dalam hal ini Ekasari (2005:7-8) memberi contoh beberapa peribahasa yang diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
1. Tsu : A bad workman always blames his tools.
    Tsa : Buruk muka cermin dibelah.
2. Tsu : A bird in the hand is worth two in the bush.
    Tsa : Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan.
3. Tsu : A bird may be known by its song.
    Tsa : Bahasa menunjukkan bangsa.
4. Tsu : A bolt from the blue.
    Tsa : Bagaikan tersambar petir di siang bolong.

Referensi:


Crystal, D. 1985. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Oxford: Basil Blackwell Ltd.
Ekasari, H.M. 2005. Popular English Proverbs. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatama.
Frye, et al. 1985. The Harper Handbook to Literature. New York: Harper & Row, Publishers.
Jordan, T. 2008. “Alliteration, Assonance, and Consonance”. Diakses dari
Harris, R.A. 2005. A Handbook of Rhetorical Devices. Diakses dari http://www.virtualsalt.com/rhetoric.htm pada tanggal 24-08-2008.
Holman, C.H. and Harmon, W. 1992. A Handbook to Literature. New York: Macmillan Publishing Company.
Maclin, A. 2001. Reference Guide to English. A Handbook of English as a Second Language. USA: United Sates Department of States, Office of English Language Program.
Moentaha, S. 2006. Bahasa dan Terjemahan. Jakarta: Kesaint Blanc.
Nord, C. 2003. “Proper Names in Translation for Children”. META. Volume 48, numéro 1-2, Mai 2003, p.182-196. Downloaded from http://www.erudit.org/revue/meta/2003/v48/n1-1/006966ar.html. on August 6, 2008.
Richards, J.C. and Plat, J. and Plat, H. 1992. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics. England: Longman Group UK Limited.
Soemarno, T. 1988. Hubungan antara Lama Belajar dalam Bidang Penerjemahan
              ’Jenis Kelamin, Kemampuan Berbahasa Inggris’ dan Tipe-tipe Kesilapan 
               Terjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. 
               Unpublished Disertation. Malang: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan 
               Malang.