1. Tujuan Penilaian Kualitas Terjemahan
Menurut Larson (1991:532), paling tidak ada tiga alasan menilai terjemahan. Pertama, penerjemah ingin meyakini bahwa terjemahannya itu akurat (accurate). Artinya bahwa apakah terjemahannya itu sudah mengkomunikasikan makna yang sama dengan makna yang ada dalam Tsu atau belum, apakah makna yang ditangkap pembaca Tsu itu sama dengan makna yang ditangkap pembaca Tsa atau tidak. Kemudian ia ingin yakin apakah tidak terjadi penyimpangan atau distorsi makna dalam teks terjemahannya. Selanjutnya dia perlu meyakini bahwa dalam terjemahannya tidak terjadi penambahan, penghilangan, atau perubahan informasi atau pesan. Dalam usahanya menangkap dan mengalihkan makna Tsu ke Tsa, ia bukan tidak mungkin secara tidak sadar menambah, mengurangi, atau menghilangkan pesan penting. Di samping itu kadang-kadang kekeliruan dilakukan pada saat menganalisis makna Tsu atau dalam proses pengalihan. Oleh karena itu, penilaian terhadap tingkat keakuratan (accuracy) perlu dilakukan.
Kedua, penerjemah ingin mengetahui apakah hasil terjemahannya itu jelas (clear) atau tidak. Artinya bahwa pembaca sasaran (target reader) dapat memahami terjemahan itu dengan baik. Dengan istilah lain clarity atau kejelasan ini sama dengan readability yaitu suatu keadaan dapat dibaca. Artinya teks terjemahan tersebut dapat dipahami dan dimengerti. Dalam hal ini Bsa yang digunakan adalah bahasa yang elegan, sederhana, dan mudah dipahami. Untuk meyakini bahwa terjemahannya dapat dipahami dengan baik, penerjemah perlu meminta penutur Bsa untuk membaca naskah terjemahannya agar dapat memberitahukan isi naskah/informasi/pesan yang disampaikan dalam terjemahan itu. Penerjemah perlu mendapatkan informasi mengenai bagian naskah yang sulit dipahami, sehingga jika ada bagian naskah yang sulit dibaca atau dipahami itu artinya terjemahannya belum mencapai tingkat kejelasan (clarity) yang diharapkan. Maka dari itu pengecekan ulang harus dilakukan.
Ketiga, penerjemah ingin mengetahui apakah terjemahannya wajar (natural) atau tidak. Artinya apakah terjemahannya itu mudah dibaca dan menggunakan tata bahasa dan gaya yang wajar atau lazim sesuai dengan tata bahasa atau gaya yang digunakan oleh penutur Bsa. Artinya apakah hasil terjemahannya itu alami atau kaku. Penerjemah perlu mengetahui bahwa terjemahannya terasa wajar sehingga pembaca sasaran seolah-seolah membaca karangan yang bukan hasil terjemahan. Maka dari itu terjemahan harus diuji apakah telah menggunakan bahasa yang wajar atau lumrah atau belum. Jika terjemahan itu tidak mencapai tingkat kewajaran (naturalness) wajar, maka revisi harus dilakukan. Sadtono (1985:9) menambahkan bahwa hasil terjemahan itu hendaklah wajar. Artinya bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan yang tidak menyadur sifat-sifat bahasa asal ke dalam bahasa pertama. Maksudnya, terjemahan itu janganlah mengandung ”bahasa saduran”, yakni terlalu mempertahankan bentuk bahasa sumber hingga isi dan kesan berita menjadi rusak.
Jadi ketepatan, kejelasan, dan kewajaran atau kealamiahan adalah tiga pokok penting yang harus dijadikan bidikan dalam evaluasi terjemahan.
2. Jenis-jenis Penilaian Kualitas Terjemahan
Banyak para pakar penerjemahan yang mengemukakan tentang strategi penilaian kualitas terjemahan. Dalam kajian ini akan dipaparkan beberapa strategi penilaian kualitas terjemahan yang dapat digunakan secara terpadu atau terpisah sesuai dengan jenis teks yang diterjemahkan atau maksud penerjemahan. Walaupun hampir semua strategi tersebut banyak digunakan untuk mengevaluasi hasil terjemahan teks non-sastra. Akan tetapi beberapa di antaranya dapat digunakan juga untuk mengevaluasi hasil terjemahan karya sastra, khususnya prosa, walaupun kriteria penilaian kualitas terjemahan karya sastra itu disediakan secara tersendiri. Berikut adalah beberapa strategi penilaian kualitas terjemahan yang dimaksud:
a) Uji keakuratan (Accuracy test)
Uji keakuratan (accuracy test) berarti mengecek apakah makna yang dipindahkan dari Tsu itu sama dengan yang ada di Tsa. Tujuan penerjemah adalah mengkomunikasikan makna secara akurat. Penerjemah tidak boleh mengabaikan, menambah atau mengurangi pesan yang terkandung dalam Tsu karena terpengaruh oleh bentuk formal BSa. Untuk menyatakan makna secara akurat, penerjemah boleh melakukan perubahan bentuk atau struktur gramatika. Nida dan Taber (1982:13) menegaskan bahwa pesan harus diutamakan karena isi pesanlah yang terpenting. Ini berarti bahwa penyimpangan tertentu yang agak radikal dari struktur formal itu diperbolehkan atau bahkan diperlukan.
1. Mengecek kesepadanan isi informasi. Pengecekan ini dilakukan untuk meyakini bahwa semua informasi disampaikan, tidak ada yang tertinggal, tidak ada yang bertambah, dan tidak ada yang berbeda.
2. Setelah semua informasi diyakini telah ada, penerjemah perlu mencari masalah lainnya dengan cara membandingkan Tsu dan Tsa. Dia perlu mencatat hal-hal yang perlu dipertimbangkan ulang. Dia harus seobjektif-objektifnya menilai pekerjaannya secara kritis. Pada saat yang sama, dia harus berhati-hati, jangan sampai ia mengganti sesuatu yang seharusnya tidak perlu diganti.
Teknik yang terbaik dilakukan dalam hal uji keakuratan adalah mengetik draf dengan dua spasi dan dengan margin lebar, sehingga ada ruang yang dapat digunakan untuk menulis perbaikan-perbaikan. Maksud uji untuk mengecek apakah makna dan dinamika Tsu itu benar-benar telah dikomunikasikan dalam terjemahan atau tidak.
Mempertahankan dinamika Tsu berarti terjemahan yang disajikan mengundang respon pembaca Tsa sama dengan respon pembaca Tsu (Larson: 1984:6). Penerjemah harus setia pada Tsu. Untuk melakukan hal ini, dia harus mengkomunikasikan bukan hanya informasi yang sama, tetapi juga respon emosional yang sama dengan naskah asli.
Untuk menghasilkan terjemahan yang memiliki dinamika yang sama dengan naskah aslinya, terjemahan itu haruslah wajar dan mudah dimengerti, sehingga pembaca mudah menangkap pesannya, termasuk informasi dan pengaruh emosional yang dimaksudkan oleh penulis naskah BSu (Larson: 1984:33).
b) Uji keterbacaan (Readability test)
Larson (1984:499-500) mengemukakan bahwa uji keterbacaan (readability test) dimaksudkan untuk menyatakan derajat kemudahan apakah sebuah terjemahan itu mudah dipahami maksudnya atau tidak. Tulisan yang tinggi keterbacaannya lebih mudah dipahami daripada yang rendah. Sebaliknya, tulisan yang lebih rendah keterbacaannya lebih sukar untuk dibaca. Keterbacaan ini meliputi pilihan kata (diction), bangun kalimat (sentence construction), susunan paragraph (paragraph organization), dan unsur ketatabahasaan (grammatical elements), jenis huruf (size of type), tanda baca (punctuation), ejaan (spelling), spasi antarbaris (spaces between lines), dan ukuran marjin (size of margin).
Uji keterbacaan dilakukan dengan cara meminta seseorang membaca sebagian naskah terjemahan itu dengan keras. Begitu dia membaca, penilai memperhatikan di mana letak pembaca merasa bimbang. Kalau dia berhenti dan membaca ulang kalimat itu, maka penguji harus mencatat bahwa ada masalah keterbacaan. Kadang-kadang pembaca tampak berhenti dan bertanya-tanya mengapa bacaannya demikian. Uji keterbacaan menurut Larson (1984) di atas secara praktis sama dengan Teknik Membaca dengan Suara Nyaring (Reading-Aloud Technique)-nya Nida dan Taber (dalam Nababan, 2004b:56).
c) Uji kewajaran (Naturalness test)
Larson (1984:10) menyatakan bahwa tujuan penerjemahan di antaranya adalah menghasilkan terjemahan idiomatik, yaitu terjemahan yang maknanya sama dengan bahasa sumber yang dinyatakan dalam bentuk yang wajar dalam Bsa. Maka dari itu tujuan dari uji kewajaran (naturalness test) itu sendiri adalah melihat apakah bentuk terjemahannya itu alamiah atau sudah tepat dengan gaya bahasa Bsa atau belum.
Selanjutnya Larson (1984:497) mengemukakan bahwa terjemahan itu dinilai wajar jika:
1. Makna dalam Tsu dikomunikasikan dengan akurat.
2. Makna yang dikomunikasikan ke dalam BSa menggunakan bentuk gramatika dan kosa kata yang lumrah atau wajar.
3. Terjemahan itu mencerminkan tindakan komunikasi yang lazim ditemui dalam konteks dan antar komunikan dalam BSa.
Uji kewajaran harus dilakukan oleh penilai yang sudah membaca seluruh terjemahan dan membuat komentar dan saran-saran yang diperlukan. Penilai harus terfokus pada tingkat kewajaran serta berupaya bagaimana meningkatkan kewajaran dan gaya bahasa dalam terjemahan.
d) Uji keterpahaman (Comprehension testing)
Newmark (1988:198) mengemukakan bahwa uji keterpahaman (comprehension testing) dilakukan untuk mengetahui apakah terjemahan yang dihasilkan itu dapat dimengerti dengan benar oleh penutur BSa atau tidak. Uji keterpahaman ini terkait erat dengan masalah kesalahan referensial yang mungkin dilakukan oleh penerjemah. Kesalahan referensial adalah kesalahan yang menyangkut fakta, dunia nyata, dan proposisi, bukan menyangkut kata-kata.
Berikut adalah ulasan yang dikemukakan oleh Larson (1984:493-497). Uji keterpahaman ini dilakukan dengan meminta orang menceriterakan ulang isi terjemahan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengenai terjemahan itu. Uji keterpahaman menyangkut pengujian terhadap Tsu, bukan pengujian terhadap responden. Para responden perlu diberitahukan bahwa tes itu bukan untuk mengetes kemampuannya, tetapi untuk mengetes keterpahaman terjemahannya. Tes itu bukan tes kemampuan, bukan pula menguji ingatan responden. Tes itu semata-mata untuk melihat apakah terjemahan itu dapat dipahami oleh pembaca sasaran atau tidak.
Langkah yang ditempuh dalam uji ini meliputi dua hal. Pertama yaitu memberi tinjauan ulang. Dalam hal ini responden diminta untuk menceriterakan ulang atau memberi ringkasan isi naskah yang dibacanya. Tujuan meminta menceriterakan ulang adalah untuk melihat apakah alur utama kejadian atau alur tema jelas. Jika mereka dapat menceriterakan dengan benar, maka jelas bahwa terjemahan itu mengkomunikasikan pesan secara umum. Jika mereka sulit menceriterakan ulang temanya, mungkin diperlukan revisi struktur wacana terjemahan.
Penilai sebaiknya tidak menginterupsi responden pada saat menceriterakan ulang isi naskah terjemahan. Tetapi, dia cukup mencatat apa yang diceriterakan atau merekamnya dengan kaset. Dia tidak boleh mengganggu alur pikiran responden, seperti membenarkan atau menyalahkan. Selain dalam bentuk lisan, responden dapat juga diminta menceriterakan ulang isi terjemahan itu dalam bentuk tulis. Responden menceriterakannya dengan kata-katanya sendiri. Jadi, dia melakukan semacam parafrase.
Langkah kedua untuk menguji keterpahaman adalah membuat pertanyaan mengenai naskah yang diterjemahkan. Pertanyaan itu harus disiapkan lebih dahulu, tidak dilakukan secara tiba-tiba. Hal ini dapat memberikan waktu penilai untuk memikirkan hal-hal yang diharapkan responden pahami dan menentukan dengan tepat hal-hal yang dia ingin cek. Dengan cara ini dia dapat merumuskan pertanyaan dengan cermat, sehingga ia dapat memperoleh informasi yang dia cari.
Ada beberapa jenis pertanyaan. Setiap jenis memiliki maksud yang berbeda. Pertanyaan bisa diarahkan untuk memberi informasi tentang gaya wacana, atau tentang tema naskah, atau pertanyaan rinci.
Pertanyaan gaya menyangkut genre dan gaya naskah. Tujuannya adalah untuk melihat bahwa naskah disampaikan secara tepat dan terampil. Pertanyaan yang dapat diajukan seperti (a) Ceritera jenis apa ini?, (b) Apakah orang yang berceritera muda atau tua, pria atau wanita?, (c) Apakah ia berceritera kepada anak-anak atau kepada orang tua? Pertanyaan tema menyangkut subjek pembahasan secara keseluruhan. Pertanyaan yang dapat diajukan seperti: “Masalah apa yang dibahas dalam tulisan itu?”. Pertanyaan rinci menanyakan tentang informasi tertentu dalam teks terjemahan. Pertanyaan, misalnya, dapat dimulai dengan kata siapa, kapan, apa, di mana, mengapa, dan bagaimana atau bergantung pada tujuan penilai.
e) Uji keajegan (Consistency Check)
Uji keajegan (consistency check) sangat diperlukan dalam hal-hal yang bersifat teknis. Duff (1981: 27) menegaskan bahwa tidak ada aturan baku mengenai bagaimana cara yang terbaik menyatakan ungkapan BSu. Namun, dapat dicatat bahwa ada beberapa kelemahan yang harus dihindari. Salah satu kelemahan itu adalah ketidakajegan (inconsistency).
Larson (1984:500-501) menyatakan bahwa Tsu biasanya memiliki istilah kunci yang digunakan secara berulang-ulang. Jika Tsu panjang atau proses penyelesaian terjemahan memakan waktu lama, maka ada kemungkinan terjadinya ketidakajegan penggunaan padanan kata untuk istilah kunci itu. Maka dari itu pada akhir penerjemahan penerjemah perlu melakukan pengecekan terhadap ketidakajegan itu. Hal ini biasanya terjadi pada penerjemahan atau terjemahan dokumen politik, teknik, ekonomi, hukum, pendidikan, atau agama.
Keajegan juga merupakan target yang dicapai dalam pengeditan yang harus membutuhkan perhatian yang cermat. Misalnya, keajegan dalam hal ejaan nama orang dan tempat amat diperlukan. Kata-kata asing yang dipinjam dan digunakan beberapa kali harus diperiksa keajegannya ejaannya. Penggunaan tanda baca, huruf kapital harus diperiksa secara cermat. Apakah penggunaan tanda tanya (?), koma (,), kurung ( ), titik dua (:), titik koma (;), tanda seru (!) atau tanda baca lainnya digunakan secara ajeg.
Pada pengecekan terakhir, format naskah dan materi pelengkap lainnya seperti catatan kaki, glosari, indeks, atau daftar isi harus diperiksa secara cermat. Jika penerjemah tidak yakin bagaimana cara mengedit yang benar, dia perlu membaca buku panduan yang menyangkut ejaan, tanda baca, dan sebagainya.
f) Terjemahan balik (Back-translation)
Soemarno (1988:33-34) menyatakan bahwa terjemahan balik (back-translation) terjadi ketika suatu teks dalam bahasa A diterjemahkan ke dalam bahasa B. Hasil terjemahan dalam bahasa B diterjemahkan kembali ke dalam A1. Untuk menilai hasil terjemahan itu, terjemahan A1 dibandingkan dengan teks asli A. Semakin dekat terjemahan A1 terhadap teks asli A, semakin tinggi nilainya. Terjemahan A1 memang tidak akan sama dengan teks asli A.
Demikian halnya Nababan (2004a:48) mengemukakan penjelasan yang sama bahwa strategi lain yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas terjemahan adalah terjemahan balik (back-translation). Secara praktis, teks bahasa Inggris (Teks A), misalnya, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Teks B). Kemudian Teks B diterjemahkan kembali ke Teks A1. Semakin sama pesan Teks A1 dengan pesan Teks A, maka semakin akurat pesan Teks B.
g) Uji pengetahuan (Knowledge test)
Uji pengetahuan (knowledge test) ini digunakan untuk menilai kualitas terjemahan teks teknik. Teknik ini dilakukan melalui pengujian pengetahuan pembaca tentang isi teks Bsa. Pembaca teks Bsa diminta membaca teks terjemahan dan menjawab pertanyaan dalam kuesioner yang telah dipersiapkan oleh penilai. Jika pembaca teks terjemahan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan benar sebanyak pertanyaan yang dijawab dengan benar oleh pembaca teks Bsu, itu merupakan indikasi bahwa pesan teks terjemahan sudah sama dengan teks Bsa (Brislin dalam Nababan, 2004a:48).
Namun demikian tetap, bahwa teknik ini pun melahirkan simpulan yang keliru perihal kualitas terjemahan, karena alasan-alasan sebagai berikut:
1. Diasumsikan bahwa pembaca diperkenankan untuk membaca teks terjemahan ketika dia menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner, sehingga kemampuan dan ketidakmampuan pembaca dalam menjawab pertanyaan itu belum bisa dikatakan sebagai indikator bahwa suatu hasil terjemahan itu akurat atau tidak akurat.
2. Meskipun uji pengetahuan ini menghendaki penilai untuk membandingkan tanggapan pembaca teks Bsa dengan tanggapan pembaca teks Bsu, pendekatan tersebut tidak mempertimbangkan bahwa interpretasi pembaca terhadap teks sangat terikat oleh latar belakang budaya dan kompetensi membaca para pembaca, sehingga ada kemungkinan bahwa dua pembaca teks Bsa yang mempunyai latar belakang budaya yang sama itu akan menginterpretasikan teks secara berbeda.
h) Uji performansi (Performance test)
Uji performansi (performance test) pada umumnya digunakan untuk menilai kualitas terjemahan dokumen-dokumen teknik. Brislin (dalam Nababan, 2004a:48) mengatakan bahwa dengan uji performansi, penilai dapat menentukan kualitas teks terjemahan melalui pengujian performansi teknisi yang harus menggunakan teks terjemahan untuk memperbaiki atau menyetel bagian dari suatu peralatan.
Uji performansi ini masih memiliki beberapa kelemahan-kelamahan. Diantaranya, pertama, uji performansi tidak mampu menilai kualitas terjemahan non-teknik (misalnya teks sastra). Kedua, hasil terjemahannya tidak selalu mencerminkan pesan secara akurat. Ada kemungkinan bahwa terjemahan yang dibaca oleh teknisi yang bersangkutan sebenarnya tidak berkualitas, namun dia dapat memperbaiki suatu peralatan itu karena sebelumnya dia telah membaca teks terjemahan atau dia sudah mempunyai pengalaman untuk memperbaikinya.
3. Kriteria Penilaian Kualitas Terjemahan
Berkaitan dengan kriteria penilaian hasil terjemahan, Hurtado Albir (2001:283) mengusulkan empat prinsip dasar yang harus diperhatikan:
1) Penguji (evaluator) harus setia terhadap kriteria yang ditetapkan dan yang diuji (evaluaee) harus sadar terhadap kriteria yang ada.
2) Kriteria penilaian bergantung pada konteks (jenis teks yang diterjemahkan) dan fungsi penilaian (jenis test yang digunakan), sehingga harus dipertimbangkan mengapa, untuk apa dan untuk siapa penilaian itu dilakukan.
3) Objek penilaian (apa yang sedang dinilai). Dalam hal ini penilai juga seharusnya mempertimbangkan apa yang seharusnya dia evaluasi dan apa yang dapat dia evaluasi.
4) Penilai atau penguji hasil terjemahan seharusnya mempertimbangkan beberapa indikator agar dia mampu mengenali apakah yang diuji (evaluee) itu mempunyai kompetensi teruji.
Referensi:
Duff, A. 1981. The Third
Language: Recurrent Problems of Translation into English. England:
Pergamon Press.
Larson, M.L. 1984. Meaning-Based
Translation: A Guide to Cross-language Equivalence. Lanham: University
Press of Amerika,Ô Inc.
Larson, M.L.1991. Penerjemahan
Berdasarkan Makna: Pedoman untuk Pemadanan Antarbahasa. Jakarta; Penerbit Arcan.
Nababan, M.R. 2004a. Translation
Process, Practices, and Products of Professional Indonesian Translators. Unpublished
Disertation. New Zealand: Victoria University of Welington.
Nababan, M.R. 2004b. Strategi
Penilaian Kualitas Terjemahan. Jurnal
Linguistik Bahasa. Volume 2, No. 1 Tahun 2004, 54-65, ISSN: 1412-0356. Surakarta: Program Studi
Linguistik. Program Pascasarjana.
Nida, E. A. dan
Taber, C. R. 1982. The Theory and
Practice of Translation.
Leiden: E.J. Brill.
Leiden: E.J. Brill.
Soemarno, T. 1988. Hubungan antara Lama Belajar dalam Bidang Penerjemahan
’Jenis Kelamin, Kemampuan Berbahasa Inggris’ dan Tipe-tipe Kesilapan
Terjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia.
Unpublished Disertation. Malang: Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar